Para calon presiden (capres) yang sudah bermunculan, semuanya berkampanye dengan ragam komunikasi yang relatif berbeda satu sama lain. Semua berupaya dengan berbagai cara agar visi misi yang disampaikannya mudah dipahami.
Media yang digunakan pun beragam, dari yang formal seperti televisi, radio, media online, hingga yang informal seperti sosial media semacam Facebook, Twitter, dan lain-lain.
Stategi komunikasinya, baik verbal maupun non verbal, diatur sedemikian rupa agar bisa memunculkan kesan yang positif di tengah-tengah rakyat.
Aburizal Bakrie misalnya, secara verbal mencoba menggunakan tutur bahasa daerah untuk ungkapan-ungkapan yang sudah umum seperti menanyakan kabar, mengucapkan selamat dan lain-lain. Sebuah upaya yang patut diapresiasi mengingat popularitasnya yang masih jauh dari memadai untuk diusung sebagai capres yang definitif.
Capres yang lain, Hatta Rajasa, mencoba berkampanye dengan menyapa publik sesuai profesinya masing-masing seperti dokter, perawat, mahasiswa, dan lain-lain. Upaya ini juga patut kita apresiasi meskipun sejauh ini popularitasnya memang—seperti Aburizal Bakrie, bahkan lebih parah—masih belum sesuai harapan tim suksesnya.
Untuk memahami gaya komunikasi para capres, ada baiknya kita merujuk ahli budaya komunikasi Edward T. Hill yang membagi dua konteks budaya (1) konteks tinggi (high context culture), yang umumnya dianut masyarakat dunia Timur, dan (b) konteks rendah (low context culture) yang umumnya dianut masyarakat dunia Barat. Dua konteks budaya inilah yang mempengaruhi gaya komunikasi seseorang. Dalam budaya konteks tinggi, akan menghasilkan gaya komunikasi konteks tinggi, dan dalam budaya konteks rendah akan menghasilkan gaya komunikasi konteks rendah.
Gaya komunikasi konteks tinggi pada umumnya menggunakan bahasa nonverbal (bahasa isyarat), perumpamaan-perumpamaan, metafor, dan kiasan. Gaya bahasa yang digunakan cenderung berputar-putar, tidak langsung kesasaran. Gaya komunikasi konteks tinggi mencerminkan adanya stratifikasi sosial dan gaya hidup feodal.
Sebaliknya, gaya komunikasi konteks rendah lebih mengutamakan bahasa yang vulgar, mudah dipahami, tidak basa-basi dan langsung kesasaran, tidak menggunakan istilah-istilah yang rumit dan susah dipahami. Gaya komunikasi konteks rendah mencerminkan budaya egaliter yang penuh canda tawa.
Dari sejumlah capres yang sudah memaparkan visi dan misi di hadapanpublik, kita bias mengklasifikasi capres mana yang cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi dan mana yang cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks rendah. Dari gaya bahasa, gaya berbicara, dan gesture-nya, kita bisa menebak siapa menggunakan gaya komunikasi apa.
Perlu digarisbawahi, penggunaan gaya komunikasi secara tidak langsung bias berdampak pada tingkat elektabilitas seorang capres. Gaya komunikasi konteks rendah misalnya, karena mudah dipahami dan terkesan lebih akrab, bisa jadi akan mendongkrak popularitas penggunanya.
Tapi, jangan lupa, untuk sebagian masyarakat Indonesia yang masih feodal, gaya bahasa konteks tinggi juga masih disukai. Dalam masyarakat feodal, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berwibawa. Dan kewibawaan pemimpin biasanya dikemas dengan gaya komunikasi konteks tinggi.
Gaya bahasa apa pun yang digunakan, pada dasarnya merupakan bagian dari strategi komunikasi capres yang semuanya berupaya (merasa) lebih dekat dengan rakyat. Yang perlu dicatat, apa yang dipersepsikan lebih merakyat, belum tentu dipersepsikan sama oleh rakyatnya sendiri.
Mungkin saja, di luar dugaan para capres, rakyat punya naluri, hati, dan pikirannya sendiri dalam memilih siapa capres yang dianggap layak memimpin negeri ini. (*)
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4310