Sejak dimulainya kampanye terbuka Pemilu 2014 tanggal 16 Maret 2014 lalu, pelibatan anak dalam kampanye masih mendominasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Tipologi pelibatan anak sangat bervariatif, mulai dari memakai alat peraga, ikut berkerumun di area kampanye, memakai motor disertai alat peraga, menjadi penghibur kampanye hingga menyebarkan peraga kampanye (KPAI,2014). Ini adalah fakta pelanggaran yang terjadi di berbagai daerah, baik kota maupun desa.
Hasil evaluasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga menunjukan bahwa semua partai politik (politik) melibatkan anak dalam rangkaian kegiatan kampanye, terutama dalam kegiatan rapat umum terbuka (Antara, 18/03). Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD memang tidak disebutkan secara rinci bahwa anak-anak dilarang ikut berkampanye.
Namun dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diatur bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa berunsur kekerasan dan peperangan.
Menurut UU Perlindungan Anak pasal 87, yang berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Terlihat bahwa melibatkan anak dalam rangkaian kegiatan kampanye pemilu merupakan permasalahan serius dan pelanggarnya bisa dipidanakan. Terkait hal ini, perlu ketegasan Bawaslu dan juga polisi untuk menegakkan aturan UU ini. Hal ini bukan hanya karena telah terjadi pelanggaran terhadap hak anak, namun juga karena para caleg atau parpol yang melakukan pelanggaran ini merupakan calon pejabat negara, dan jika di dalam proses kampanye saja telah melanggar, bagaimana jika mendapatkan kedudukan.
Caleg yang suka melanggar aturan, rentan menjadi pejabat publik yang bermasalah, baik secara moral, sosial, maupun politik. Pasalnya, dari sisi proses mendapatkan kedudukan saja mereka menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan hukum (KPAI,2014).
Terkait pelibatan anak dalam kampanye menjadi lebih riuh perdebatannya. Hal ini dikarenakan adanya alasan dari parpol yang menilai bahwa pelibatan anak dalam kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik untuk anak. Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa benar anak berhak dan wajib mendapatkan pendidikan politik, namun haruslah disesuaikan dengan umur mereka dan mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Pendidikan politik anak yang benar itu seperti memilih ketua kelas, melalui mendongeng, menggambar, bernyanyi dan bermain (Mulyadi,2014), dan bukannya membiarkan anak terpapar dalam berbagai kegiatan kampanye yang didominasi orang dewasa dengan berbagai tindakan melanggar hukum. Seperti, konvoi dengan naik di atas mobil, konvoi motor tanpa menggunakan pelindung kepala dan lain sebagainya.
Pelanggaran hukum atau aturan ketertiban yang dilihat oleh anak atau dilakukan sendiri oleh mereka-secara terpaksa tanpa mengetahui secara sadar aturan serta konsekwensi dari tindakan-tindakan pelanggaran tersebut-hanya akan menimbulkan mispersepsi anak terhadap aturan hukum atau nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat. Hal ini akan sangat berbahaya mengingat dampak jangka panjang yang potensial ditimbulkannya. Mengingat anak-anaklah yang di masa akan datang menjadi pelaku utama pembangunan terutama di bidang politik ini.
Akhirnya, perlu dipahami bahwa perlindungan terhadap anak adalah bagian dari tanggung jawab bersama. Semua pihak, parpol, para caleg peserta pemilu hendaklah menyadari dengan penuh bahwa untuk mencapai tujuan mereka mendapatkan suara, perlu mempertimbangkan hal lain yang juga tak kalah penting yaitu perlindungan terhadap anak.
Pihak lain, seperti Bawaslu dan Polisi yang memiliki kewenangan mengawasi dan menindak semua pelanggaran penyelenggaran pemilu termasuk kampanye, perlu menindak tegas para pelanggar ini. Masyarakat umum yang melihat pelanggaran ini, harus proaktif melaporkannya kepada para pihak yang memiliki otoritas mengawasi dan menindak pelanggaran aturan kampanye seperti yang disebutkan di atas.
Hanya dengan melibatkan semua pihak secara sadar hukum dan meletakkan kepentingan perlindungan anak, di atas kepentingan meraup suara semata. Kita dapat memberikan garansi terciptanya generasi penerus bangsa yang handal dan sadar hukum.
Lola Amelia – Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com