Berita menggembirakan datang dari Kantor Wapres 22 Oktober 2018 lalu. Pemerintah mengakui ada kesalahan metode dalam menghitung produksi beras Nasional. Ironisnya kejadian ini sudah terjadi sejak tahun 1997. Kata Jusuf Kala setiap tahun produksi beras seolah-olah naik terus, padahal lahan berkurang 1,5 persen. Sebuah kesalahan yang berulang sejak Soeharto masih berkuasa sebagai Presiden RI. Dalam press release, diakui untuk tahun 2018 ini ada kesalahan hitung produksi gabah kering giling (GKG) Nasional. Menurut data Kementan, produksi gabah tahun ini diperkirakan mencapai sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, dengan perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton. Dengan demikian, terdapat surplus beras sebesar 13,03 juta ton sepanjang tahun 2018.
Dengan metode baru, produksi padi untuk tahun 2018 diketahui total lahan baku sawah 71,1 juta hektare, dengan total produksi 56,54 juta ton GKG (setara dengan 32,42 juta ton beras). Setelah dikurangi konsumsi per kapita sebesar 111,58 kg atau setara dengan 29,57 juta ton per tahun maka terdapat surplus 2,85 juta ton. Jumlah ini dipandang lebih akurat dibanding dengan prediksi Kementan dimuka.
Kini menjadi terang benderang kenapa setiap tahun selalu ribut impor beras. Kenapa tidak ditemukan tempat penyimpanan beras padahal setiap akhir tahun diumumkan produksinya surplus. Produksi padi 2007 yang tercatat sebesar 57,15 juta ton, lalu meningkat menjadi 60,32 juta ton di 2008. Kemudian pada 2009 mencapai 64,39 juta ton, dan 2010 kembali naik menjadi 66,47 juta ton. Angka-angka tersebut hasil perhitungan metode lama yang ternyata menyesatkan. Demikian halnya dengan periode 2011-2017 dengan tren produksi yang terus meningkat, yakni 65,75 juta ton pada 2011 dan 81,38 juta ton pada 2017. Selama 10 tahun terakhir selalu dilaporkan peningkatan produksi gabah nasional. Sekali lagi belum pernah mengalami penurunan.
Dapat dimaklumi dengan metode lama yang angka proyeksi produksi hampir 80 juta ton, jika tahun 2018 Kementan tidak mengeluarkan rekomendasi impor, karena dari perhitungan diatas stok beras dalam negeri terpenuhi. Menurut Kementan surplus tersebut sebagian besar dikuasai masyarakat (petani, penggilingan, pedagang dan konsumen), dan sebagian kecil yang dikuasai oleh pemerintah melalui Bulog (sumber laman Kementan).
Publik kini mendapatkan jawaban soal kejujuran pasar. Kenapa harga beras naik, kenapa suplai berkurang, kenapa ada operasi pasar, kenapa Pemerintah memutuskan impor beras. Betapa data yang tidak akurat akibat kesalahan metode telah menforsir berbagai sumberdaya yang tidak diperlukan. Bahkan kita larut dalam perdebatan yang sungguh tidak produktif. Publik masih ingat Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dipersalahkan dan dituduh bermain kuota karena memutuskan impor. Keputusan Enggar mengacu pada kondisi real pasar, sementara para pengkritiknya berpedoman pada data Kementan hasil dari metode yang salah. Belum diketahui data mana yang digunakan Rizal Ramli untuk menyerang kebijakan Menteri Perdagangan.
Kesalahan Metode lama.
Jika kita punya lahan satu hektar, ditanani padi dengan dua kali panen selama setahun, setiap panen hasilnya 7 ton GKG. Maka indek pertanamannya: 2 dan indek produksi: 7 ton, berarti produksi lahan kita setahun sama dengan 2 x 7 = 14 ton GKG. Berapa jumlah lahan sawah dalam satu Kabupaten dan Propinsi, berapa indek pertanamannya dan berapa indek produksinya? Berdasarkan metode lama dibuatlah angka ramalan atau aram. Aram dikeluarkan BPS setelah berkordinasi dengan Pemda.
Pemda memberikan data luas lahan dan berapa kali panen masing-masing lahan. Dari situlah indek pertanaman diketahui. Untuk menentukan indek produksi pihak BPS melakukan sampling. Dari angka produksi ini dikalikan total luas panen (IP) didapatlah angka produksi Kabupaten. Angka produksi tahunan Propinsi adalah total produksi Kabupaten dan Kota. Dengan cara yang sama akan diketahui total produksi Nasional yang diumumkan setahun sekali.
Belajar dari pengalaman 10 tahun menjabat Kepala Daerah, metode lama ini rawan kesalahan. Pertama saat menentukan rencana tanam yang berisi luas lahan dan jenis tanamannya. Kedua saat menentukan hasil produksi. Staf birokrat pada umumnya memilih cara aman dalam menyusun rencana tanam, tidak menghitung pengurangan lahan dan potensi ketersediaan air. Sehingga ajuan subsidi pupuknya setiap tahun cenderung naik. Lebih baik pupuk suplus daripada kurang, sehingga petani tidak marah.
Data inilah yang juga diberikan ke BPS untuk menghitung luas lahan. Kenapa indek produksi juga cenderung naik? Harus diakui adanya kenaikan sebagai dampak positif berbagai program peningkatan produksi baik bantuan saprodi maupun peningkatan kapasitas petani. Namun staf birokrasi umumnya enggan melaporkan kegagalannya, seperti adanya bencana alam atau hama. Apalagi Pemerintah setiap tahun selalu memberikan penghargaan kepada Kepala Daerah atas kenaikan produksi pangan daerahnya. Maka kenaikan dianggap keharusan, karena itu bisa dipahami jika data akhir produksi kerap tidak akurat.
Penulis pernah ditertawakan berbagai pihak ketika tahun 2011 mengumumkan penurunan produksi Kabupaten Bojonegoro dibanding tahun sebelumnya. Saat itu banjir manghampiri beberapa kawasan lahan pertanian disusul serangan massif hama. Juga dipertanyakan saat dua kali mengeluarkan jeda tanam untuk memotong mata rantai hama. Kebijakan yang pasti mengganggu produksi padi.
Saatnya Simtapat, Pertanian persisi!
Metode baru perhitungan produksi padi yang menggunakan citra satelit dan pengecekan lahan. Kerjasama Lapan, Badan Informasi Geospasial, BPPTdan Kementrian ATR/BPN akan dengan mudah memetakan data: lahan baku sawah. Setiap enam belas hari LAPAN mengeluarkan foto satelit yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan produksi padi. BIG dan bersama BPPT menyimpan dan mengolahnya. Kementrian ATR/BPN memberikan data lapangan. Dengan demikian dapat diketahui secara tepat luas lahan pertanian, luas tanam dan panen, dan berapa kali panen dalam setahun.
Tugas BPS tinggal mengecek indek produksi per hektar (Kerangka Sampel Area) dan melaporkan total produksi setiap bulan atau tiga bulan sesuai keperluan. Dengan cara ini maka kegagalan panen karena bencana dan hama sudah diperhitungkan sebagai variable pengurang.
Lewat metode baru ini bukan hanya akurasi angka produksi yang didapat namun manajemen produksi dan panen dapat dilaksakan secara lebih optimal.
Saatnya pertanian persisi dijalankan lewat sistem tanam dan panen secara tepat (Simtapat). Pemkab Bojonegoro pernah menginisiasi membuat aplikasinya bekerja sama dengan BPPT. Data geospasial diperoleh dari BIG dan penelitian lapangan, sementara citra satelit dari LAPAN. Setelah diketahui potensi air setiap tahun dan data lahan maka disusun rencana tanam lebih akurat. Pemkab dapat mendistribusikan air secara tepat. Dengan mengetahui kapan panen dan berapa jumlahnya maka kordinasi dengan Bulog dapat dilakukan lebih awal.
Kini bahkan sudah ada pihak swasta yang menghimpun data lahan, pengolahan dan produksinya secara granular. Salah satunya oleh Hara Token yang diinisiasi Datta Boot Indonesia, maka pertanian persisi dan optimalisasi managemen produksi jauh lebih dimungkinan. Sinergitas dengan pihak swasta seperti dengan Hara Token bahkan bisa dikembangkan untuk mempermudah pemberian kredit oleh pihak perbankan dan pemberian sertifikat tanah.
Patut dicatat bahwa managemen produksi hanya dapat dilakukan berbasis data yang akurat. Peningkatan skill petani dan pemangku kepentingan lainnya hanya dapat dilakukan jika kita jujur terhadap data. Apresiasi keberhasilan itu penting tapi menerima dan mengakui kegagalan akan menjadi pintu bagi inovasi dan solusi tepat. Jadi jangan malu mengakui kesalahan. Selamat buat Pemerintah atas pengakuan kesalahannya.
Gresik 23 Oktober 2018
*) Suyoto, Dosen Unmuh Gresik, Bupati Bojonegoro 2008-2018
Artikel ini sudah dimuat di Kompasiana pada 23 Oktober 2018. The Indonesian Institute sudah mendapatkan izin dari penulis untuk menerbitkan ulang di portal kami. Penulis juga adalah Anggota Dewan Penasihat The Indonesian Institute.
https://www.kompasiana.com/ryan54755/5bd1300b677ffb49a37328f2/salah-data-produksi-padi-dan-perlunya-simtapat