Menggerakkan Roda Ekspor Melalui Komoditi Jagung

Di tengah isu fluktuasi yang terjadi pada ketersediaan stok beras dalam negeri, kondisi berbeda justru ditunjukkan pada stabilitas produksi komoditas jagung dalam negeri. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, produksi jagung lokal telah mampu mencukupi permintaan pasar dalam negeri dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2017 jumlah produksi jagung mencapai 26 juta ton atau meningkat sebesar 40,6% jika dibanding tahun 2013. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan nilai produksi mencapai 23,6 juta ton (Statistik Konsumsi Pangan, 2017). kemudian, pertumbuhan produksi jagung juga di dukung dengan ekstensifikasi area lahan panen jagung. Lihat gambar berikut.

Jumlah Produksi dan Luas Panen Komoditi Jagung Tahun 2013-2017

Sumber : Kementan, Statistik Konsumsi Pangan 2017.

 

Lahan panen jagung juga mengalami perluasan selama kurun waktu lima tahun terakhir. Meskipun luas lahan panen di tahun 2015 sempat menurun, namun di tahun berikutnya mengalami pertumbuhan secara berturut-turut yaitu 2015 (17.35%) dan 2016 (20.98%). Kemudian saat ini permintaan pasar dalam negeri akan kebutuhan jagung mayoritas terfokus sebagai bahan makanan ternak (70,9%), penggunaan lain-lain (26,6%), serta untuk konsumsi hanya sebesar 2,4% (Statistik Pertanian, 2017).

Sementara itu, pertumbuhan produksi jagung selama tahun 2013-2017 mayoritas berada di wilayah Indonesia bagian Timur, seperti Provinsi Sulawesi Utara (56%), Provinsi NTB (34,38%), dan Provinsi Sulawesi Selatan (16,43%). Sedangkan di Jawa menempatkan provinsi Jawa Timur (8%) dan Jawa Tengah (4%). Lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut.

Rata-rata Pertumbuhan Produksi Jagung di 7 Provinsi dengan Produksi Terbesar tahun 2013-2017

Sumber: Kementan, Statistik Pertanian 2017.

Peningkatan produksi jagung yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air, telah mendorong Indonesia sebagai produsen jagung terbesar di wilayah Asia Tenggara. Mengacu pada laporan Asean Food Security Information System (AFSIS), pada tahun 2016 total produksi jagung di wilayah ASEAN mencapai 43,1 juta ton, dimana sebanyak 49,4% adalah kontribusi terbesar dari Indonesia. Sedangkan Filipina menjadi negara dengan kontribusi terbesar kedua dengan presentase 18,1%. Sementara itu, komoditi ekspor jagung saat ini masih cenderung menyasar di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan di benua Eropa dan Amerika, mayoritas pasar ekspor masih dikuasai eksportir dari Amerika Serikat, China dan Brazil (FAO, 2015).

Dengan demikian, penulis melihat bahwa adanya keunggulan kompetitif yang dimiliki Indonesia sebagai negara produsen jagung. Pertama, secara statistik Indonesia mampu memproduksi hampir setengah dari total produksi jagung di wilayah Asia Tenggara. Kedua, masih rendahnya daya saing produktivitas jagung di Asia Tenggara memberikan sinyal positif bagi pasar dalam negeri. Ketiga, ketersediaan lahan pertanian yang memadai serta kondisi iklim tropis sangat mendukung peningkatan kapasitas produksi jagung.

Lebih lanjut, meningkatnya kapasitas produksi jagung justru tidak diimbangi dengan laju ekspor komoditas tersebut. Kondisi ini dapat dibuktikan dari neraca perdagangan komoditi jagung yang mengalami defisit dalam lima tahun terakhir (Statistik Konsumsi Pangan, 2017). Masih rendahnya fasilitasi ekspor jagung yang dilakukan pemerintah disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab. Pasalnya pemerintah cenderung lamban manangkap permintaan pasar luar negeri ditengah kondisi over supply jagung dalam negeri. Selain itu, kerjasama perdagangan yang dibangun pemerintah pada komoditi jagung juga belum terbentuk dalam beberapa tahun terakhir.

Kondisi sangat jauh berbeda ketika pemerintah di awal tahun 2018 melakukan inisiatif penawaran jagung melalui mekanisme ekpsor. Alhasil terbentuknya kesempakatan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina dan Malaysia tersebut, menghasilkan permintaan ekspor jagung dengan nilai mencapai 4 juta ton di tahun ini (https://www.detik.com, 8/3).

Kondisi over supply yang terjadi pada komoditi jagung lokal harus dimanfaatkan dengan tepat agar mampu meningkatkan terhadap kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan mengacu tren pertumbuhan selama lima tahun ke belakang, penulis memprediksi jika produksi jagung lokal stabil, petani akan mampu menghasilkan produksi jagung minimal mencapai 28,4 juta ton pada tahun 2018, dengan nilai kontribusi terhadap PDB ditafsir mencapai Rp 89,4 triliun.

Pemerintah harus lebih responsif membangun kerjasama perdagangan serta dalam menangkap peluang pasar. Misalnya, dengan melakukan perluasan pasar ekspor ke negara  yang memiliki permintaan jagung tinggi, namun tidak didukung pasokan pasar dalam negeri. Sebagai contoh Malaysia dan Singapura yang sama sekali tidak ada produsen jagung. Kemudian jika mengacu data UN Comotrade tahun 2017, perluasan komoditas ekspor jagung bisa diarahkan ke negara importir jagung terbesar, seperti Jepang dengan nilai impor jagung mencapai 30 triliun, Meksiko, Korea Selatan, Vietnam, dan Mesir.

Penulis menilai, mendorong produksi jagung secara berkelanjutan sangat penting dilakukan. Peran pemerintah diperlukan untuk memfasilitasi ekspor jagung, mempermudah akses kredit bagi petani, dan bantuan petugas penyuluh pertanian. Jika diperlukan dan dalam jangka waktu tertentu, pemerintah juga dapat memberikan subsidi pupuk dan bibit jagung yang berkualitas guna menjaga mutu dan kuantitas produksi. Upaya-upaya ini diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi jagung lokal yang sudah dicapai saat ini.

 Riski Wicaksono, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, riski@theindonesianinstitute.com

 

 

 

 

 

 

Komentar