Repolitisasi Pancasila

Sejarah demokrasi Indonesia akan mencatat tanggal 26 September 2014 sebagai momentum titik balik demokrasi pasca gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Koalisi partai politik yang pada Pemilu Presiden lalu mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa memotori pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang salah satu substansinya adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Salah satu argumentasi yang sering diungkapkan oleh tokoh-tokoh koalisi oposisi ini adalah bahwa pemilihan kepala daerah sesuai dengan Pancasila. Pilkada yang selama satu dekade ini dilaksanakan secara langsung dianggap tidak sesuai dengan Sila ke-4 Pancasila.

Satu hal yang harus diingat adalah bahwa UUD 1945 memang membuka ruang bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan metode pilkada. Artinya adalah metode apapun yang dipilih oleh pembentuk undang-undang memang secara konstitusional diakui dan sudah sesuai dengan Pancasila. Satu hal yang penting adalah dalam metode tersebut partisipasi masyarakat sebagai pemilik mandate.

Klaim yang menyebut bahwa hanya pilkada tidak langsung yang sesuai dengan Pancasila adalah salah satu bentuk politisasi Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila yang merupakan ideologi negara dijadikan alat untuk melegitimasi kehendak politik yang berusaha merampas hak politik masyarakat.

Menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi syahwat kekuasaan patut diwaspadai. Bangsa ini memiliki sejarah politisasi pancasila selama tiga dekade lebih, tentu semua komponen bangsa tidak ingin sejarah tersebut kembali terulang. Gerakan reformasi yang menggulirkan demokrasi ke Indonesia telah banyak mengorbankan nyawa anak bangsa, tentu mempertahankan demokrasi adalah menjadi tugas bersama.

Jika Pilkada tidak langsung dapat diklaim sebagai bentuk pemilihan yang paling sesuai dengan Pancasila, maka bukan tidak mungkin kedepannya akan ada klaim bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung juga tidak sesuai dengan Pancasila. Amandemen UUD 1945 adalah cara yang dapat ditempuh untuk merealisasikan klaim tersebut.

Ada satu tantangan yang sangat penting bagi kubu koalisi yang mengklaim sebagai purifikator Demokrasi Pancasila. Secara matematis, kelompok tersebutlah yang menguasai DPR oleh karena itu setiap pengambilan keputusan akan sangat bergantung terhadap kelompok koalisi oposisi. Mampukah koalisi oposisi mengelola DPR sesuai dengan Demokrasi Pancasila?

Pemilihan pimpinan DPR pada 2 Oktober lalu mungkin menjadi salah satu “pilot project” yang dianggap sesuai dengan Pancasila. Apakah cara pemilihan pimpinan DPR sudah sesuai dengan Demokrasi Pancasila? Hati-hati Repolitisasi Pancasila!

Asrul Ibrahim Nur, Peneliti Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. asrul.ibrahimnur@gmail.com

Komentar