Relevansi Koalisi dalam Perspektif Konstitusi

asrul-ibrahim-nurKoalisi menjadi tema hangat yang sering diperbincangkan di media menjelang pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Manuver para calon presiden menjadi sorot utama para awak media baik cetak maupun elektronik. Istilah koalisi menjadi begitu akrab di telinga awam sekalipun.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan koalisi sebagai “kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen”. Maknanya adalah bahwa syarat koalisi adalah adanya aktor koalisi, bentuk koalisi, dan tujuan koalisi.

Aktor koalisi adalah beberapa partai politik, artinya ada dua atau lebih partai politik yang terikat dalam koalisi. Bentuk koalisi adalah kerjasama tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Sedangkan tujuan koalisi adalah bergantung kesepakatan aktor koalisi yang bersepakat membentuknya.

Secara konstitusional konsep koalisi tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pada ayat tersebut tercantum frasa “gabungan partai politik”, maksud dari frasa tersebut yaitu koalisi partai politik. Ketentuan ini adalah dalam konteks pencalonan presiden oleh partai politik.

Konsepsi koalisi dalam rumusan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 pada awalnya adalah muncul dari usulan Tim Ahli Amandemen UUD 1945. Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, Tim Ahli yang diantaranya beranggotakan Maswadi Rauf, Jimly Asshiddiqie, dan Affan Gaffar mengusulkan adanya aliansi atau koalisi partai politik sebelum pemilu.

Usulan ini kemudian dibahas kembali oleh anggota MPR RI yang bertugas mengamandemen UUD 1945. Hingga akhirnya disepakati menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang ini. Aliansi atau koalisi partai politik ini adalah mekanisme untuk membentuk suatu dukungan besar terhadap calon presiden tertentu. Jika menang dalam pemilihan umum maka implikasinya adalah pemerintahan presidensial yang kuat dan mendapat banyak dukungan kekuatan politik.

Rumusan mengenai “gabungan partai politik” dalam UUD NRI 1945 ini semakin relevan jika melihat realitas politik yang ada. Hasil sementara pemilihan umum anggota legislatif menunjukaan bahwa tidak ada satupun partai politik yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa berkoalisi. Hal ini terkait dengan syarat jumlah dukungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 9 UU tersebut mengatur bahwa syarat pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden adalah 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dari pemilu anggota DPR. Oleh karena itu jika tidak ada partai politik yang mendapatkan 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dari pemilu legislatif maka koalisi atau aliansi adalah sebuah keharusan.

Secara umum konstitusi telah membuka ruang bagi adanya kerjasama antar partai politik untuk membentuk pemerintahan melalui mendukung pasangan presiden dan wakil presiden. Secara khusus, koalisi partai politik itulah yang harus mewujudkan cita bangsa yang termaktub dalam konstitusi.

Koalisi yang dimaksud oleh konstitusi tentunya bukan hanya koalisi suara dan kursi semata. Koalisi antara partai politik yang dimaksud adalah kerjasama untuk membangun sebuah pemerintahan yang kuat demi mewujudkan dan merealisasikan cita dan tujuan didirikannya Negara Indonesia. Kita berharap semua elit politik mampu menangkap maksud dibukanya ruang koalisi oleh konstitusi.

Asrul Ibrahim Nur, Peneliti Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research (asrul.ibrahimnur@gmail.com).

Komentar