Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti menjelaskan mengapa tindakan intoleransi menurun jelang Pemilu. Menurutnya hal tersebut disebabkan pengaruh elektabilitas dalam pesta demokrasi.
Artinya bila pendukung atau simpatisan suatu peserta demokrasi terpublikasi melakukan tindakan intoleransi fisik, maka akan berpengaruh dalam suara yang akan didapat saat pemungutan suara berlangsung.
Hal tersebut dinyatakan Ray Rangkuti di sebuah kantor, Jalan H.O.S. Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/2/2019). Selain itu, fator pengamanan oleh aparat menjelang pesta demokrasi juga diperketat.
Sehingga oknum masyarakat yang berniat melakukan tindakan intoleransi mengurungkan niatnya karena takut ditangkap aparat keamanan.
“Menjelang Pilpres atau pilkada mungkin orang hati-hati kalau tiba-tiba merusak rumah ibadah, karena hubungannya nanti dengan elektabilitas,” kata Ray Rangkuti.
Namun, menurut Ray Rangkuti, sikap intoleran menjelang Pemilu justru meningkat. Sikap Intoleransi yang dimaksud Ray Rangkuti adalah mengkampanyekan orang untuk tidak dipilih atas dasar perbedaan identitas. Menurutnya hal tersebut terjadi sejak Pilpres 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI 2018.
“Sekalipun tensinya agak menurun di Pilpres, tapi sikap itu tak bisa disembunyikan. Apa yang disebut bentuk sikap, yaitu satu pandangan politik, yang mendelegitimasi hak politik seseorang atas dasar perbedaan indentitas,” kata Ray Rangkuti.
Menurut Ray Rangkuti, sikap intoleransi tersebut lebih berbahaya daripada tindakan intoleransi. Sebab tindakan intoleransi bisa dicegah atau ditanggulangi oleh aparat keamanan. Tetapi sikap intoleran itu tidak kasat mata membuat masyarakat terbelah.
Sumber: Tribunnews.com
Note: Dalam diskusi ‘Mempertanyakan Keberpihakan Partai Politik dalam Isu Intoleransi’ di kantor The Indonesian Institute (TII), Jl HOS Cokroaminoto No 92, Jakarta Pusat