Persoalan Dilematis Sistem Outsourcing Buruh

santiPada hari Kamis 1 Mei 2014, seluruh dunia merayakan May Day atau Hari Buruh Internasional. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Hari Buruh di Indonesia ‘diperingati’ dengan cara demonstrasi di berbagai tempat – terutama di pusat-pusat kota. Di Jakarta misalnya, ada empat lokasi yang dijadikan pusat demonstrasi, yakni Bundaran Hotel Indonesia, Istana Negara, Kantor Gubernur DKI Jakarta, dan Gelora Bung Karno (detiknews.com, 1/3).

Momen Hari Buruh yang diperingati dengan cara demonstrasi di pusat-pusat kota ini, tak lain adalah untuk mencari ‘perhatian’ guna menyampaikan segala tuntutannya- terkait dengan nasib serta kesejahteraan buruh di Indonesia.

Salah satu tuntutan buruh setiap tahunnya adalah penghapusan sistem outsourcing. Outsourcing yang ditolak buruh merupakan Manpower Outsourcing atau Outsourcing Tenaga Kerja. Dalam sistem ini perekrutan buruh dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa buruh, namun buruh harus bekerja di perusahaan lain yakni perusahaan pengguna jasa buruh yang telah bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa buruh.

Buruh menolak sistem outsourcing dalam dua level, yakni level regulasi atau peraturan dan dalam level implementasinya (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia/ FSPMI, 2012).

Dari segi regulasi, pendefinisian terhadap sistem ini bermakna ganda atau multitafsir. Pasalnya, penggunaan sistem outsourcing tenaga kerja begitu luas dan tidak hanya di lima jenis pekerjaan yang diperbolehkan oleh undang-undang, yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperkuat dengan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Dalam dua kebijakan tersebut, disebutkan bahwa sistem outsourcing hanya boleh terdapat dalam lima jenis pekerjaan, yakni usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedian jasa makanan (catering), usaha penyedia jasa keamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan (UU No.13/2003 Pasal 66 Ayat 1 dan Permenakertrans No.19 Tahun 2012 Pasal 17 Ayat 3). Namun dalam kenyataannya, sistem outsourcing juga masuk ke ranah pekerjaan produksi manufaktur.

Kemudian, dari segi implementasi persoalannya terletak pada minimnya kesejahteraan buruh. Banyak perusahaan pengguna ternyata menggaji buruh di bawah upah minimum, memotong gaji buruh, serta tidak menyertakannya dalam program jaminan sosial.

Namun, persoalan di atas tentu hanya berlaku pada buruh. Pasalnya sistem outsourcing ini tentu menguntungkan pihak lainnya, yakni kalangan pengusaha dan pemerintah.

Pengusaha sebagai pemakai jasa buruh, memandang bahwa sistem ini menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem outsourcing digunakan untuk mencapai efisiensi dalam rangka meningkatkan produktivitas perusahaan. Dalam artian, sistem ini dianggap sebagai suatu strategi untuk menekan biaya operasional produksi.

Kemudian, apabila dipandang dari sudut pandang pemerintah tentu sistem ini (juga) menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem outsourcing dapat menarik para pengusaha terutama perusahaan asing untuk menjadi investor di Indonesia. Dengan kata lain, apabila jumlah investor meningkat, maka akan memunculkan berbagai perusahaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini tentu akan berimbas pada pemasukan negara.

Adapun dalam tulisan diatas, terpapar beberapa keuntungan ataupun kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penerapan sistem outsourcing di Indonesia. Oleh karena itulah penulis menganggap bahwa sistem ini dilematis, sehingga diperlukan adanya sikap tegas dari pemerintah.

Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak yang ‘berwenang’ diharapkan tegas dalam memilih akan tetap menjalankan sistem ini atau tidak. Apabila pemerintah tetap menjalankan sistem ini, resiko yang akan muncul adalah semakin meluasnya masalah penurunan kesejahteraan buruh. Di sisi lain, apabila pemerintah menghapus sistem ini, tentu negara akan kehilangan investor yang akan berimbas langsung pada menurunnya investasi, meningkatnya pengangguran, dan resiko ‘kehilangan’ pemasukan negara.

Komentar