Senin, 10 Juli 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas). Perppu ini diterbitkan oleh Pemerintah dengan pertimbangan bahwa UU No. 17/2013 tidak lagi memadai sebagai sarana untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), baik dari aspek substantif terkait dengan norma, larangan, dan sanksi serta prosedur hukum yang ada.
Salah satu kelemahan yang ada pada UU No. 17/2013 menurut Pemerintah adalah tidak terwadahinya asas hukum administrasi negara yakni asas contrario actus, yaitu asas hukum bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan adalah lembaga yang seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya. Atas dasar tidak memadainya hukum yang ada sehingga lebih jauh mengakibatkan adanya kekosongan hukum dalam penerapan sanksi, maka Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan Perppu Ormas tersebut (Kompas.com, 12/7/17).
Setelah Perppu Ormas diterbitkan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kemudian mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal 19 Juli 2017, sebagai salah satu bentuk implementasi dari Perppu Ormas tersebut (Kompas.com, 19/7/17). Pencabutan status badan hukum HTI melalui Perppu Ormas ini tidak melalui jalur Pengadilan dan dapat dikatakan sebagai jalur cepat yang diambil Pemerintah untuk membubarkan ormas. Mekanisme pembubaran ormas semacam ini menurut beberapa pihak potensial melahirkan tindakan sewenang-wenangan dari Pemerintah.
Melalui Perppu Ormas, Pemerintah menyederhanakan proses penerapan sanksi administratif kepada ormas yang melakukan pelanggaran. Sehingga upaya penertiban ormas-ormas yang melanggar prosesnya menjadi lebih cepat. Salah satu bentuk pelanggaran yang dimaksud berdasarkan Pasal 59 ayat (4) huruf c Perppu Ormas adalah menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Terhadap jenis pelanggaran tersebut, Perppu Ormas dalam Pasal 61 ayat (1) mengatur pemberian sanksi administratif terdiri atas peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Mekanisme pemberian peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Perppu Ormas tersebut tidak dilakukan secara bertahap. Berdasarkan Pasal 62 Perppu Ormas, sanksi administratif hanya diberikan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (hari) kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan. Apabila ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu tersebut, Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan. Sementara dalam hal sanksi penghentian kegiatan tersebut tidak dipatuhi, maka dilakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Dalam penjelasan Pasal 61 ayat (3) dinyatakan bahwa pencabutan status badan hukum adalah sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Ketentuan tersebut berbeda dan sekaligus menghapus ketentuan di dalam UU Ormas sebelumnya yakni UU No. 17/2013 yang mengatur pembubaran ormas berbadan hukum harus melalui beberapa tahapan, yaitu, pemberian sanksi administratif berupa tiga kali peringatan tertulis. Selanjutnya, apabila peringatan tertulis ketiga tidak dipatuhi, Pemerintah, atas pertimbangan Mahkamah Agung, dapat menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan ormas selama 6 (enam) bulan. Apabila ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi pengentian kegiatan maka Pemerintah dapat melakukan pencabutan status badan hukum ormas. Namun berbeda dengan Perppu Ormas, sanksi pencabutan status badan hukum dalam UU No. 17/2013 baru dapat dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran berbadan hukum.
Beberapa ketentuan baru dalam Perppu Ormas banyak menuai pro dan kontra di masyarakat. Beberapa kalangan yang setuju, menilai bahwa keberadaan Perppu Ormas dibutuhkan untuk menindak tegas ormas-ormas radikal yang dinilai mengancam kebhinekaan, demokrasi dan Pancasila. Hal tersebut salah satunya disampaikan oleh sejumlah ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) (Kompas.com, 11/7/17).
Di sisi lain, beberapa pihak yang menolak, menilai Perppu Ormas merupakan bentuk kesewenang-wenangan Pemerintah dalam membubarkan ormas dan hal ini dikhawatirkan akan mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi masyarakat. Penolakan terhadap Perppu Ormas tersebut dalam perkembangannya telah mendorong dilakukannya Aksi Tolak Perppu pada tanggal 28 Juli 2017 atau disebut dengan Aksi 287 di kawasan Monas yang diikuti oleh sekitar 5000 orang (www.bbc.com, 28/7/17). Perwakilan Aksi 287 kemudian mengambil langkah mengajukan uji materi atau judicial review terhadap Perppu Ormas kepada Mahkamah Konstitusi (MK) (detikNews, 28/07/17).
Menyikapi berbagai penolakan dari masyarakat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, menyatakan bahwa saat ini ormas yang ada di Indonesia mencapai 344.039 ormas. Ormas tersebut beraktifitas di segala bidang kehidupan, baik dalam tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Ormas-ormas tersebut menurutnya harus dibina dan diberdayakan agar mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional. Namun pada kenyataannya saat ini, terdapat kegiatan-kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, yang dapat menjadi ancaman bagi eksistensi bangsa dengan telah menimbulkan konflik di masyarakat (kominfo.go.id, 13/7/17).
Menurut Penulis, mekanisme pencabutan izin atau status badan hukum suatu organisasi perlu juga memperhatikan ketentuan Pasal 64 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014). Dalam pasal tersebut diatur bahwa keputusan pencabutan, dalam hal ini keputusan pejabat administrasi negara yang sah misalnya dalam memberikan izin atau status badan hukum, harus dilakukan dengan menerbitkan keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dalam ketentuan berikutnya diatur bahwa keputusan pencabutan tersebut dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan keputusan, atasan pejabat yang menetapkan keputusan, atau atas perintah Pengadilan.
Apabila kita merujuk pada ketentuan UU No. 30/2014 tersebut, maka mekanisme pencabutan status badan hukum ormas baik melalui proses pengadilan maupun tanpa proses pengadilan sebetulnya merupakan sebuah pilihan yang sama-sama dapat diambil oleh Pemerintah. Namun dengan catatan, keputusan pencabutan tersebut dilakukan dengan memperhatikan AUPB. AUPB yang dimaksud beberapa diantaranya meliputi kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik (Pasal 10 UU No. 30/2014).
Selain itu, menurut Penulis, kehadiran Perppu Ormas tidak dapat dikatakan serta merta menghilangkan keberadaan atau peran Pengadilan. Kembali merujuk pada UU No. 30/2014, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya administratif berupa keberatan dan banding juga gugatan ke Pengadilan terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat administrasi yang dirasa merugikan. Dalam kaitannya dengan kasus pencabutan status badan hukum HTI, sebetulnya HTI dapat secara langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan apabila keputusan Pemerintah atas pencabutan status badan hukumnya dirasa tidak adil dan merugikan.
Terlepas dari itu, menurut Penulis, dalam rangka melindungi paham atau ideologi Pancasila dan menjaga keutuhan NKRI, tidak cukup hanya dengan melakukan upaya represif menggunakan instrumen hukum saja. Melainkan diperlukan kontribusi aktif dari seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, masyarakat sipil, dan institusi pendidikan. Terutama dalam hal membangun pemahaman bahwa Pancasila sebagai ideologi dan dasar bernegara merupakan hasil dari konsensus nasional yang dalam sejarah perumusannya telah melalui proses musyawarah yang sangat panjang. Hingga pada akhirnya Pancasila dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia yang pada dasarnya merupakan masyarakat yang besar dan majemuk.
Artinya Pancasila bukanlah suatu ideologi yang dapat digantikan begitu saja dengan paham ideologi satu kelompok atau golongan tertentu, baik itu mayoritas maupun minoritas. Terlebih, apabila dikaitkan dengan ajaran agama tertentu, Islam misalnya, sebagai Umat Islam, Penulis memandang nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila bukanlah nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga menerima Pancasila tidak berarti menolak atau menentang ajaran Islam.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com