JAKARTA – Pernikahan dini dinilai dapat menimbulkan banyak masalah ke depannya. Selain berdampak buruk bagi kesehatan mental seorang anak, emosi yang belum matang saat menjalani bahtera rumah tangga membuatnya rentan stres.
Demikian dikatakan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitti Hikmawatty, dan psikolog, Ine Indriani, menanggapi rencana perkawinan dini yang dilakukan siswa Sekolah Menengah Pertama asal Bantaeng, Sulawesi Selatan. Akhirnya, akad nikah sejoli yang masih berumur 15 tahun (laki-laki), dan 14 tahun (perempuan) dibatalkan karena keduanya tak mendapat tandatangan dispensasi dari kecamatan setempat.
Ine Indriani mengatakan para remaja yang memutuskan menikah terlalu muda sesungguhnya belum matang untuk memikirkan kehidupan setelah pernikahan. “Remaja yang memilih menikah dini tidak berpikir soal pendidikan yang lebih tinggi atau tidak ingin berkarier. Hal ini terjadi karena mereka belum memiliki pandangan yang luas,” ujar dia, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, anak remaja masih dalam tahap labil dalam hal emosi. Hal inilah yang membuat menikah di usia muda rentan terhadap stres. “Menikah bukan hanya jadi seorang istri, melainkan akan menjadi orang tua untuk anak-anak. Nah, jika emosi belum stabil, ditakutkan akan mudah stres. Belum bisa berpikir panjang untuk mengambil keputusan,” papar Ine.
Komisioner KPAI, Sitti Hikmawatty, menambahkan, jika benar alasan utama pernikahan remaja asal Bantaeng itu adalah takut tidur sendiri, ini merupakan tanda bahwa mereka masih belum cukup dewasa apalagi sampai memilih jalan untuk menikah. “Untuk melindungi dirinya sendiri saja masih belum optimal, apalagi jika dia nanti menjadi seorang ibu,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia berharap ada pihak yang berada di sekitarnya untuk bisa memberikan pengarahan dan memberikan pendewasaan dulu kepada yang bersangkutan hingga cukup matang untuk berumah tangga.
Sitti juga mengatakan bahwa pola asuh orang tua sebenarnya sangat berperan penting untuk menjelaskan tentang kapan seharusnya berumah tangga. “Ya mau tidak mau, orang dewasa di sekitar harus banyak meluangkan waktu untuk memberikan pengertian kepada mereka,” tegasnya.
Revisi UU
Sementara itu, Peneliti The Indonesian Institute, Umi Lutfiah, mendorong revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena sudah tidak relevan seperti pasal soal usia minimal seseorang dapat melangsungkan pernikahan.
Ia mengatakan Pasal 6 undang-undang itu menyebutkan umur minimal seseorang dapat melangsungkan pernikahan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Di pasal yang sama bagi mereka dengan usia di bawah 21 tahun dan ingin menikah harus dengan izin orang tua.
Bahkan, kata dia, dalam Pasal 7 disebutkan bahwa perempuan dengan usia di bawah 16 tahun dan laki-laki di bawah 19 tahun dapat diberikan dispensasi umur dengan permintaan kedua orang tua/ pihak perempuan.
UU tersebut, lanjut dia, membuka peluang terjadi pernikahan dini bagi anak. Maraknya kasus pernikahan anak akan berdampak pada berbagai aspek. Dari segi psikologis mereka jelas belum siap membina rumah tangga, emosi masih labil dan akan sangat rentan terjadinya kekerasan dan perceraian.
“Belum lagi kalau kita berbicara kesempatan pendidikan yang akan terbuang ketika mereka menikah, terutama bagi kaum perempuan. Ditambah ancaman kemiskinan yang mengintai mereka karena dengan pendidikan yang minimal akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak,” kata dia.
Sumber: Koranjakarta.