Peringatan Hari Toleransi Jangan Sekedar Seremoni

Pada tanggal 16 November 2021 yang lalu diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional. Makna toleransi sangat penting bagi bangsa ini, karena Indonesia merupakan negara yang terdiri dari pelbagai berbagai macam suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman tersebut, bukan hanya menjadi sebuah kekayaan, tetapi juga dapat menjadi ancaman, salah satunya disebabkan oleh masih kuatnya intoleransi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan  keberagamaan.

Hal ini pun diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang mengatakan keberagaman Bangsa Indonesia kerap kali diuji dengan intoleransi dan pemaksaan kehendak (antaranews.com, 17/11/2021). Bahkan, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo mengakui kasus intoleransi di Indonesia setiap waktunya mengalami peningkatan. Menurutnya salah satu yang mendominasi kasus intoleransi adalah pendirian rumah ibadah yang sangat sulit dan hak-hak minoritas (indonews.id, 18/12/2020).

Pendapat di atas terkonfirmasi berdasarkan kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia. Berdasarkan Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) pada tahun 2020 menunjukkan angka rata-rata nasional pada 67,46 menurun dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 73.8. Indeks disusun berdasarkan perhitungan dari 3 indikator yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerjasama. Di tahun 2020, indikator toleransi memiliki nilai yang paling rendah dengan 64,15, kesetaraan pada nilai 69,54, dan kerjasama pada nilai 68,68 (Burhani, dkk, 2020).

Masih berdasarkan laporan Indeks KUB 2020 tersebut, terdapat empat persoalan yang mengemuka, yaitu pertama, adanya prasangka antar kelompok kepada pengikut Aliran Kepercayaan, Ahmadiyah, Syiah, Komunis, Ateis, dan LGBT, sebagai kelompok yang paling tidak disukai. Kedua, dari indikator toleransi,  sebanyak 38% masyarakat Indonesia keberatan jika penganut agama lain membangun rumah ibadah di daerah sekitarnya dan 37% keberatan pada bupati/walikota yang berasal dari agama lain.

Ketiga, dari indikator kesetaraan,  sebanyak 36% masyarakat Indonesia tidak setuju bila orang beda agama dengan dirinya menjadi presiden Republik Indonesia. Kemudian yang keempat, dari indikator kerjasama, terdapat 36% warga yang tidak mau bergotong-royong untuk menyelenggarakan acara keagamaan yang berbeda. Bahkan dalam laporan ini ditemukan bahwa lebih dari 50% masyarakat Indonesia tidak pernah melakukan kontak secara langsung dengan orang yang berbeda agama.

Kondisi ini pun sejalan dengan riset Setara Institute tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tahun 2020, ditemukan sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 184 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga, individu, dan organisasi kemasyarakatan (ormas) (katadata.co.id, 6/4/2021).

Selanjutnya, tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak dilakukan oleh aktor non-negara berupa intoleransi, yakni 62 tindakan. Lalu, ada 32 tindakan pelaporan penodaan agama, 17 tindakan penolakan mendirikan tempat ibadah, dan 8 tindakan pelarangan aktivitas ibadah yang dilakukan aktor non-negara. Ada pula 6 tindakan perusakan tempat ibadah oleh aktor non-negara pada tahun 2020. Sementara, kasus kekerasan dan penolakan kegiatan lainnya yang dilakukan aktor non-negara sepanjang tahun lalu masing-masing sebanyak 5 tindakan (katadata.co.id, 6/4/2021).

Selain itu, masih berdasarkan laporan Setara Institute, korban KBB sepanjang tahun 2020 terdiri atas warga (56 peristiwa), individu (47), penganut agama lokal/penghayat (23), pelajar (19), umat Kristen (16), umat Kristiani (6), ASN (4), umat Konghucu, umat Katolik, umat Islam, dan umat Hindu (masing-masing 3) dan umat Buddha serta ormas keagamaan (masing-masing 2) (tirto.id, 9/4/2021).

Kemudian, Setara Institute juga mencatat 24 rumah ibadah diganggu selama tahun 2020, dengan rincian sebagai berikut: mesjid (14 kasus), gereja (7), serta pura, wihara, dan kelenteng masing-masing 1 kasus. Kasus berkaitan dengan penghentian bangunan, penyegelan, hingga perusakan. Kemudian, dicatat pula ada 32 kasus pelaporan penodaan agama yang dilakukan aktor negara. Setidaknya 27 kasus berbasis daring. Dari semua kasus, 17 di antaranya berakhir penangkapan dan 10 dijatuhi sanksi (tirto.id, 9/4/2021). Berdasarkan data-data di atas, dapat dilihat bahwa persoalan intoleransi beragama dan berkeyakinan masih menjadi persoalan di Indonesia.

 

Rekomendasi

Melihat persoalan di atas, maka sudah saatnya kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dan ditegakkan. Jaminan terhadap toleransi dan kebebasan beragama serta berkeyakinan bukan lagi sekedar retorika maupun seremoni belaka. Negara harus dapat memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan kepada semua agama dan kepercayaan, serta para penganutnya sesuai amanah konstitusi.

Jaminan kebebasan tersebut yaitu pertama, mendorong Kementerian Agama untuk meningkatkan program dialog lintas agama di masyarakat sehingga terbangun pemahaman toleransi antar agama dan keyakinan di masyarakat.

Kedua, mendorong Kepolisian Republik Indonesia bersama Kementerian Agama untuk memberikan rasa aman bagi seluruh pemeluk agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini juga berlaku bagi bagi kelompok minoritas seperti Baha’i, Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism, Ahmadiyah, Syiah serta penganut kepercayaan lokal di Indonesia.

Ketiga, mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk mengimplementasikan Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 untuk  mewujudkan pelayan publik yang tidak diskriminatif bagi pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Keempat, mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan dan toleransi terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama.

Kelima, mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk menegakkan hukum bagi kelompok maupun individu yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia.

 

Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar