Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM: Kerusuhan 1998 yang Semakin Terlupakan

Pada tanggal 21 Mei yang lalu, Indonesia memperingati 23 tahun jalannya reformasi. Peristiwa yang ditandai dengan turunnya Soeharto dari kursi presiden mengawali babak awal masa reformasi. Namun, peristiwa ini  tidak berdiri sendiri, terdapat sejumlah peristiwa yang pada akhirnya menjungkal Soeharto dari singgasana yang telah dikuasai selama 32 tahun, salah satunya peristiwa kerusuhan bernuansa SARA pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota.

Berdasarkan laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Kerusuhan Mei 1998, ditemukan perbedaan jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka yang di dapatkan dari beberapa sumber. Misalnya saja, berdasarkan data Tim Relawan untuk Kemanusian (TRUK), di DKI Jakarta ditemukan sebanyak 1.190 orang terbakar, 27 orang terkena senjata/dan lainnya, serta 91 orang luka-luka. Sementara, data Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menunjukkan 451 orang meninggal dan korban luka-luka tidak tercatat (Komnas Perempuan, 1999).

Masih dalam Laporan TGPF, berdasarkan data Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya ditemukan 463 orang meninggal, termasuk aparat keamanan, dan 69 orang luka-luka.  Sementara itu, berdasarkan data Pemerintah Daerah DKI Jakarta ditemukan 288 orang  meninggal dunia dan 101 luka-luka. Di kota-kota selain Jakarta, temuan angka korban juga bervariasi. Berdasarkan data Polri, 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar. Berdasarkan data Tim Relawan, 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka (1999).

Selain itu, TGPF juga menemukan adanya kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998. Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 diderita oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.

Melihat laporan tersebut, tak ayal kerusuhan Mei 1998 menjadi salah satu peristiwa suram bangsa ini. Terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga kini kasusnya belum terselesaikan.

Hal yang sama terjadi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di masa lalu, seperti tragedi 1965, penembakan misterius era 1980, peristiwa Talangsari, penghilangan orang secara paksa jelang reformasi, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Padahal, seperti yang kita ketahui bersama, telah ada payung hukum yang menyatakan penyelesaian kasus HAM berat dapat dilakukan melalui jalur pengadilan ad hoc, seperti diamanatkan di Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sayangnya, setelah melewati pergantian beberapa kali pemerintahan di era Reformasi, hal ini urung terlaksana. Alasannya, berkas penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap tidak memenuhi syarat penyidikan.

Bahkan yang terbaru, tim khusus penuntasan dugaan pelanggaran HAM berat atau Timsus HAM yang dibentuk Kejaksaan Agung juga tidak membawa perubahan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono, mengatakan tidak ada kasus-kasus yang bisa ditindaklanjuti melalui jalur pengadilan. Sebab, Komnas HAM tidak memenuhi petunjuk yang diberikan dari Kejagung, baik syarat formil maupun materil. Bahkan,  Koordinator Timsus HAM yang juga Direktur Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung, Yuspar mengusulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan melalui jalur non-yudisial (mediaindonesia.com, 4/5).

Pernyataan-pernyataan Timsus di atas mengindikasikan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM kerusuhan 1998 melalui jalur pengadilan masih berjalan di tempat. Padahal, rezim telah berganti lima kali selepas turunnya Soeharto. Setiap rezim pun gagal menyelesaikan kasus ini.

Nampaknya, bukan hanya sekedar janji politik yang dibutuhkan, tetapi juga keberanian dan komitmen dari Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menuntaskan permasalahan ini melalui jalur pengadilan. Presiden dan DPR seharusnya menjalankan mandat UU  Nomor 26 Tahun 2000 untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kerusushan Mei 1998. Oleh karena itu, memperhatikan persoalan diatas, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan.

Pertama, mendorong Presiden dan DPR untuk tetap berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kedua, mendorong Presiden untuk mengevaluasi kinerja Timsus HAM Kejaksaan Agung yang belum bekerja secara signifikan untuk menyelesaikan syarat formil maupun materil dalam kasus pelanggaran HAM melalui jalur pengadilan. Ketiga, mendorong DPR untuk selalu membuka ruang bagi kelompok masyarakat sipil dalam rangka memberikan masukan  dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 

Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar