Pentingnya Deradikalisasi Bagi Generasi Muda

Indonesia kembali diguncang aksi teror. Kali ini percobaan bom bunuh diri terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep di Jalan Dr Mansur Nomor 75 Medan, pada minggu pagi, tanggal 28 Agustus 2016 lalu.

Teror tersebut menyebabkan satu orang pastur mengalami luka ringan di bagian lengan kiri. Pelaku penyerangan adalah remaja berusia 18 tahun, berinisial IAH, yang kini telah diamankan Polda Sumut dengan kondisi tubuh dan wajah penuh luka.

Pelaku percobaan bom bunuh diri tersebut diduga tidak terkait dengan jaringan teroris manapun. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengatakan hasil pendalaman aparat keamanan menyatakan bahwa pelaku tidak termasuk ke dalam jaringan teroris. Tapi pelaku terobsesi dari internet. Hal ini diketahui setelah aparat keamanan menemukan tulisan “I love Al Baghdadi” di ransel yang digunakan IAH untuk membawa bom rakitan. Dari telepon genggam pelaku, Aparat menemukan bahwa IAH juga kerap menonton video yang terkait dengan ajaran ISIS. Demikian pula dari komputer yang sering digunakan IAH di warnet milik kakaknya (www.kompas.com, 29/08/16).

Melihat peristiwa teror bom medan tersebut,  Penulis berpendapat bahwa aspek deradikalisasi menjadi muatan sangat penting dalam Revisi Undang-Undang Anti Terorisme.  Dimana aspek ini yang hingga kini belum berjalan optimal. Apalagi jika kita melihat pelaku teror maupun pengikut gerakan radikal masih berusia muda. Dimana hal ini jelas mengancam masa depan generasi muda Indonesia.

Hasil survei yang dilakukan Maarif Institute terhadap 98 pelajar SMA yang mengikuti Jambore pada Desember 2015 menunjukkan bahwa benih radikalisme di kalangan remaja Indonesia dalam tahap mengkhawatirkan. Hal ini contohnya tercermin pada beberapa jawaban pertanyaan yang diajukan kepada para pelajar, seperti “Bersediakah Anda melakukan penyerangan terhadap orang atau kelompok yang dianggap menghina Islam?”. Hasilnya, 40,82 responden menjawab “bersedia”, dan 8,16 persen responden menjawab “sangat bersedia”. Adapun, responden yang menjawab “tidak bersedia” 12,24 persen dan “kurang bersedia” sebanyak 25,51 persen (www.kompas.com, 02/03/16).

Soal sistem tata negara Islam di Indonesia, responden juga ditanya mengenai apakah mereka setuju dengan sebagian umat Islam yang ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Hasilnya, 19,39 persen menyatakan “setuju”, dan 3,06 persen menyatakan “sangat setuju”. Adapun, 34,69 persen menjawab “tidak setuju” dan 37,76 persen menjawab “kurang setuju”. Selanjutnya terkait ISIS, para pelajar ini ditanya, “Apakah Anda sangat bersedia, kurang bersedia atau tidak bersedia bila diajak untuk ikut berperang ke Irak dan Suriah oleh ISIS?”. Sebanyak 3,06 persen menjawab “bersedia”; dan 83,86 persen menjawab “tidak bersedia”. Kemudian para responden juga ditanya pendapatnya soal bom bunuh diri. Sebesar 6,12 persen menyatakan setuju bahwa pengeboman yang dilakukan Amrozi cs merupakan perintah agama. Sementara, 79,59 persen menjawab tidak setuju (www.kompas.com, 2/3).

Melihat persoalan di atas, sangat jelas bahwa aspek deradikalisasi perlu menjadi prioritas dalam revisi UU Anti Terorisme. Deradikalisasi seharusnya menitikberatkan pada aspek pendidikan baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Sikap yang menghargai dan menghormati perbedaan, merupakan sikap yang sangat penting untuk tersampaikan dan terinternalisasi kepada  generasi muda kita saat ini.

 

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar