Mengamati sosok pelaku terorisme yang masih “buron” maupun yang sudah terkapar, tampak banyak diantara mereka yang berusia muda. Mencermati teroris darah muda ini artinya apa? Itu berarti akal sehat mereka tidak atau belum bekerja dan ideologi kekerasan yang mereka cerna di luar akal sehat kita.
Bisa jadi, secara psikologis keterlibatan orang-orang muda itu di dalam jaringan teroris dikarenakan mereka sedang memerlukan keterikatan pada sesuatu di luar diri untuk meningkatkan kemantapan diri, tidak asertif (tidak berani menyuarakan perbedaan pandangan), mudah dikilik-kilik rasa bersalahnya, sedang mencari-cari makna hidup, cenderung kaku, membutuhkan jawaban absolut benar-salah sebagai pegangan hidup, dan kurang bertoleransi dengan keragaman.
Dalam ulasan Harian Kompas, Hilang Menjadi Tawanan (24/1/2016), disebutkan bahwa teroris muda itu sepertinya mengembangkan rasionalisasi bahwa bagi semua pilihan hidup ada “harga yang harus dibayar”. Untuk membersihkan dan menyucikan dunia, misalnya, dibolehkan dan bahkan mulia untuk menembaki orang, melempar bom dan meledakkan bom bunuh diri.
Di samping itu, di luar persoalan psikologis, munculnya jaringan-jaringan teroris baru dan muda di Indonesia menunjukkan bahwa pengaderan mereka tersistematis dan terpola. Oleh karena itu, kesungguhan dalam mengatasi persoalan terorisme ini sangat diperlukan.
Menurut Philips J. Vermonte dalam buku Terorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi (Imparsial, 2003), terdapat beberapa alasan yang menyebabkan terorisme perlu dihadapi dengan sungguh-sungguh, oleh Indonesia pada khususnya dan juga oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Berikut alasannya:
Alasan pertama adalah bahwa kelompok-kelompok teroris di berbagai tempat di dunia dengan cermat memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan oleh perkembangan pesat kemajuan teknologi dan komunikasi untuk mencapai tujuanya. Sehingga, di samping tetap menggunakan metode-metode klasik, aksi-aksi terorisme saat ini memiliki potensi menciptakan kerusakan dan korban jiwa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan aksi-aksi sejenis di masa lalu.
Sebuah kemungkinan yang menunjang pendapat ini adalah kemungkinan penggunaan weapon of mass destruction (WMD) seperti senjata kimia dan biologi oleh kelompok teroris. Walaupun demikian, teknologi lama dan sederhana, sebagaimana terlihat dalam aksi peledakan bom di Bali atau di Filipina Selatan misalnya, tetap dimaksimalkan pemanfaatannya oleh kelompok-kelompok yang melakukannya. Singkatnya, ruang dan peluang yang dimiliki oleh kelompok teroris untuk menjalankan aksinya semakin meluas. Hal ini menjadikan terorisme sebagai sebuah ancaman serius karena relatif sulit menentukan kapan dan di mana kelompok teroris akan melakukan aksinya.
Alasan kedua adalah bahwa tindak terorisme berlaku indiskriminatif terhadap warga biasa yang tidak terkait langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai aksi teror yang dilakukan dan juga pada instalasi negara yang dipandang sebagai target yang sah dalam pemahaman konvensional atas konsepsi perang.
Alasan ketiga adalah bahwa kelompok-kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam sebuah situasi isolasi di mana fakta-fakta menunjukkan bahwa saat ini terorisme sulit dipisahkan dari berkembangnya organisasi kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime) dalam berbagai ragam dan bentuknya. Mulai dari tindak kejahatan pencucian uang (money laundering), perdagangan ilegal obat bius dan juga perdagangan senjata secara ilegal.
Berkaca dari ketiga alasan itu, tak ayal, mengerikan bila tunas muda bangsa kita cukup banyak yang terjebak dalam lingkar ajar ideologi kekerasan dan terorisme global. Hendaknya selain negara bekerja mengatasi soal ini, para orang tua di rumah, pengajar di sekolah, kaum agamawan di ruang peribadatan, dan para cerdik pandai, serta kita semua dapat menjadi guru yang cerdas dan arif bagi anak-anak generasi global masa depan bangsa. Generasi republik ini perlu ditanamkan sikap toleransi dan solidaritas. Masa depan keutuhan bangsa ini ada di pundak mereka.
Semoga generasi muda yang berwawasan terbuka mampu mempertahankan penghormatan terhadap keberbagaian dan keragaman. Menguatkan solidaritas, saling menghargai, dan saling memahami diwujudkan dalam kerjasama mengusung agenda-agenda kebajikan dan kemanusiaan untuk bangsa Indonesia, bukan untuk mereka (teroris dengan segala rupa dan macamnya).
David Krisna Alka, Research Associate di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. davidkrisna@gmail.com