Setiap tahunnya, sejak tanggal 25 November hingga 10 Desember dilangsungkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence). Kampanye ini merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.
Pemilihan rentang waktu dari 25 November hinggal 10 Desember bukanlah tanpa alasan. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Selama 16 hari tersebut baik Komnas Perempuan maupun elemen masyarakat lainnya, melakukan pelbagai kegiatan seperti seminar publik, aksi damai, pameran dan lain sebagainya.
Dalam konteks kebijakan, Penulis menilai penting di dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2016 ini untuk kita semua melihat sebuah rancangan kebijakan yang terkait dengan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2016. Pembahasan di DPR perlu terus dipantau. Hal ini tak lain adalah karena keberadaan UU ini dinilai mendesak jika melihat kondisi dan jumlah kasus kekerasan seksual terjadi.
Menurut Catatan Tahunan 2016 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada tanggal 8 Maret 2016 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, jumlah kasus Kekeresan terhadap Perempuan pada tahun 2015 sebanyak 321.752. Dari total tersebut 60 persen kekerasan terjadi di ranah domestik, 31 persen di ranah komunitas dan sisanya di ranah negara.
Sedangkan untuk kasus spesifik kekerasan seksual sendiri, di ranah domestik menempati urutan kedua terbanyak setelah kekerasan fisik (38 persen) yaitu sebesar 30 persen. Sementara di ranah komunitas menempati urutan pertama sebanyak 61 persen dari total 5.002 kasus.
Beberapa catatan terhadap data kekerasan dari Catahu 2016 Komnas Perempuan di atas adalah, pertama, data yang disajikan adalah data kekerasan spesifik terhadap perempuan; kedua, data yang disajikan belum menggambarkan keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan hanya yang besumber dari data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILOG), lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dan kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR).
Artinya kemudian adalah, data kekerasan seksual terhadap laki-laki belum terpetakan, dan jumlah riil kekerasan terutama terutama yang bersifat seksual bisa dipastikan lebih besar. Meskipun demikian, data dari Komnas Perempuan ini sudah menunjukkan bagaimana gentingnya kondisi kekerasan seksual di Indonesia. Genting karena bukan hanya di ranah komunitas/publik tapi juga di ranah domestik, ranah keluarga dengan pelaku adalah anggota keluarga sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pertanyaan apakah mungkin Indonesia terbebas dari kekerasan seksual, bisa dipastikan akan dijawab dengan tidak. Di situ kemudian, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi sebuah keharusan untuk menjadi langkah pertama menuju nol kekerasan seksual di Indonesia.
Terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri, berikut beberapa hal yang perlu dicermati. RUU ini perlu mendefinisikan secara lebih luas dan komprehensif tentang kekerasan seksual itu sendiri, penanganan kasusnya hingga aspek pemulihan bagi korban pun masyarakat sekitarnya termasuk keluarga korban.
Prinsip yang harus dibangun adalah bahwa segala bentuk kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan serius, segala bentuk kekerasan seksual adalah juga bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan setiap warga negara berhak terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Kebijakan Sosial dan Gender The Indonesian Institute. lola@theindonesianinstitute.com