Pada hari Jumat 3 September 2021, ratusan warga merusak masjid dan membakar bangunan di belakangnya yang merupakan milik jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat. Akibatnya, 72 jiwa atau 20 kepala keluarga dari jemaah Ahmadiyah terpaksa dievakuasi (kompas.com, 9/9/2021).
Kejadian ini bermula dari adanya desakan kelompok masyarakat yang menamakan diri Aliansi Umat Islam yang menuntut pemerintah daerah untuk menutup masjid dan melarang aktivitas ibadah jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Sintang. Keberadaan jemaah Ahmadiyah di Sintang pun sebelumnya telah ditentang oleh pemerintah daerah (pemda) setempat.
Pemda sendiri berdalih akan menjamin kebebasan kepada jemaah Ahmadiyah untuk beribadah sepanjang mengakui beragama Islam, dan sesuai ketentuan dari surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008; Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008; dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat (tirto.id, 4/9/2021).
Namun dalam perjalanannya, dikarenakan Pemda Kabupaten Sintang belum memenuhi desakan Aliansi Umat Islam, pada akhirnya kelompok masyarakat tersebut melakukan aksi sepihak dengan melakukan tindakan perusakan dan pembakaran yang menimpa jemaah Ahmadiyah. Peristiwa di Sintang ini pun menambah catatan buram pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menimpa jemaah Ahmadiyah di Indonesia.
Berdasarkan data Laporan Satu Dekade Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dari Wahid Foundation (WF) sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2018, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi pihak yang paling banyak menjadi korban pelanggaran kebebasan beribadah yang dilakukan oleh aktor negara dan non-negara. Sepanjang 2009-2018, JAI mengalami 188 tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara dan 166 tindakan dilakukan oleh aktor negara.
Padahal negeri ini menjamin kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan di Indonesia. Di Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selanjutnya, di Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Berdasarkan UUD 1945 tersebut, semua agama dan kepercayaan dijamin kebebasannya untuk dipeluk oleh warga negara Indonesia. Batasannya adalah kebebasan dalam menjalankan agama dan kepercayaan tersebut tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain, seperti yang tercantum dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain.
Namun, bagi jemaah Ahmadiyah nampaknya jaminan yang terkandung dalam konstitusi negeri ini tidak berlaku bagi mereka untuk secara bebas menjalankan ibadah dan keyakinannya. Ketidakbebasan ini pun diperkuat oleh aturan negara dengan SKB tiga menteri di atas yang menjadi legitimasi bagi aktor negara dan non-negara dalam mendiskriminasi jemaah Ahmadiyah, seperti yang terlihat dalam peristiwa Sintang. Jaminan terhadap kebebasan terhadap jemaah Ahmadiyah pun hanya sekedar retorika belaka. Pada kenyataannya, aturan SKB ini menghilangkan jaminan jemaah Ahmadiyah untuk beribadah dan berkeyakinan.
Rekomendasi
Menyikapi kondisi ini, maka negara seharusnya memberikan jaminan kepada semua agama dan kepercayaan yang ada sesuai konstitusi, termasuk kepada jemaah Ahmadiyah. Beberapa langkah yang dapat dilakukan yaitu pertama, pemerintah mencabut aturan SKB tiga menteri dan aturan-aturan diskriminatif lainnya.
Kedua, memberikan rasa aman bagi jemaah Ahmadiyah untuk menjalankan peribadatannya. Ketiga, memberikan pelayan publik tanpa adanya diskriminasi terhadap jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Keempat, memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama kepada generasi muda. Kelima, penegakan hukum bagi kelompok maupun individu dari aktor negara maupun non aktor negara yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia.
Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com