Semaraknya pemaknaan kita pada ruang digital, yang dianggap sebagai medium berekspresi secara bebas, rasanya harus kembali direnungkan. Isu-isu yang menyasar hak-hak digital kita sebagai pengguna internet semakin mengemuka belakangan ini. Misalnya saja kasus pemadaman koneksi internet yang terjadi di India, atau pembatasan konten-konten kritis yang menyasar pada kekuasaan monarki di Thailand (internetshutdowns.in, 2020; dw.com, 18/10).
Dengan kenyataan bahwa arus lintas perbincangan di ruang digital akan ditentukan dan dieksekusi melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh platform penyedia layanan internet, pertanyaan seperti “siapa yang sebetulnya mengendalikan perbincangan di dalam ruang digital?” lantas mengemuka. Sebab, konten apa yang kemudian bisa tetap bertahan dan menjadi bagian dari diskursus publik akhirnya juga ditentukan oleh para eksekutif dari perusahaan raksasa teknologi tersebut (economist.com, 22/10).
Di sisi lain, keterikatan perusahaan penyedia layanan internet pada setiap regulasi negara lantas membuat persoalan kebebasan berekspresi secara digital bersifat kasuistis. Contoh teranyar dari kondisi tersebut adalah wacana pemblokiran media sosial yang akan dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Peraturan Menteri (tempo.co, 21/10). Kominfo menekankan bahwasanya regulasi pemblokiran media sosial ditujukan sebagai upaya untuk menekan persebaran misinformasi serta hoaks, dan perusahaan penyedia layanan internet harus bisa ‘berkolaborasi’ dengan pemerintah agar tidak dikenakan sanksi.
Dari ilustrasi di atas, kita bisa memahami adanya dua pihak yang mampu menguasai ruang digital beserta perbincangan yang ada di dalamnya, yaitu perusahaan penyedia layanan digital dan negara. Pihak tersebut memiliki kesamaan yang identik, bahwa keduanya memposisikan pengguna internet dari masyarakat umum sebagai pihak yang paling berpotensi tidak diuntungkan. Hal inilah yang seringkali berdampak pada penggunaan internet kita dalam keseharian.
Kebebasan Berekspresi
Kita harus berhenti sejenak untuk memahami arti dari kebebasan berekspresi. John Locke (dalam Rahmanto, 2016) mengartikan kebebasan berekspresi sebagai metode dalam mencari suatu kebenaran. Aktivitas ini akhirnya memberikan kebebasan kepada kita untuk mencari, menerima, serta menyebarkan informasi yang juga diikuti oleh perbincangan terhadapnya. Hal ini didasari oleh pemahaman Locke bahwa setiap individu merupakan sebuah unit yang memiliki nilai, serta pembawa hak-hak untuk hidup, bebas, memiliki, dan mengejar kebahagiaan. Di tulisan ini, hak-hak dalam berekspresi tersebut kemudian merambat ke dalam ruang digital.
Namun dalam penerapannya, kebebasan berekspresi akhirnya sering dihadapkan oleh beragam tantangan, seperti yang sudah disebutkan pada bagian pendahulu tulisan ini. Kondisi yang patut disayangkan mengingat Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sudah menekankan bahwasanya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi melekat pada setiap orang. Hak tersebut pun bersifat transnasional dan harus bebas dari intervensi.
Pola pada Kasus Pelanggaran Kebebasan Berekspresi
Pembahasan tulisan ini kemudian mengerucut pada soal kebebasan berekspresi yang ada di Indonesia. Catatan dari Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019 yang dikeluarkan SAFEnet membantu tulisan ini menemukan sejumlah pelanggaran kebebasan berekspresi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa kesempatan. Selama 2019, laporan tersebut menyatakan adanya tiga kali pemadaman internet yang dilakukan pemerintah, 24 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi menggunakan Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tujuh kasus pelanggaran privasi (seperti doxing, pengawasan tanpa kesepakatan, penyadapan, dan akses tanpa otorisasi), hingga satu kasus kekerasan gender berbasis siber (KGBS) yang terjadi atas dorongan politik.
Dari catatan tersebut, kalangan aktivis menjadi kelompok masyarakat yang paling sering menjadi korban, bahkan hingga sekarang. Tentu kita masih ingat bagaimana kasus peretasan menimpa sejumlah aktivis atau kalangan yang kritis terhadap pemerintah. Baik itu yang berkaitan dengan isu Papua, hingga program pembuatan vaksin coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang digarap oleh Universitas Airlangga, Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Intelijen Negara (voaindonesia.com, 14/6; cnnindonesia.com, 25/8).
Sejatinya, dari catatan SAFEnet, yang diikuti dengan kasus terkini di 2020, kita dapat membaca dengan jelas format umum dari pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dalam ruang digital di Indonesia. Pertama, kasus tersebut dihadapi oleh kalangan yang ada di kutub yang berseberangan dengan posisi ataupun kebijakan pemerintah. Kritik, bahkan opini, akhirnya sering dianggap sebagai fitnah, hoaks, atau bentuk pencemaran nama baik oleh pemerintah. Somasi yang dilancarkan Kementerian Kesehatan kepada salah seorang jurnalis karena dianggap menghina Menteri Kesehatan adalah contoh yang mempertegas hadirnya zona buram pada garis samar kritik dan pencemaran nama baik (tempo.co, 5/8).
Kedua, ketika kritikan hadir dalam bentuk karya jurnalistik, maka produk tersebut atau portal berita-lah yang kemudian diserang. Bentuk penyerangan ini pun beragam, dan seringkali langsung diperkarakan tanpa didahalui oleh proses di Dewan Pers. Catatan ini bisa ditemui misalnya saja pada kasus pemenjaraan mantan Pimpinan Redaksi portal berita di Banjarmasin selama 3,5 bulan karena salah satu artikelnya dianggap mengandung SARA dan melanggar kode etik, serta kasus pemblokiran situs suarapapua.com di salah satu momen pemadaman internet Papua (detik.com, 18/8; cnnindonesia.com, 2/10).
Menghentikan Pola dan Pengulangan
Akhirnya, modal untuk bisa menekan angka kasus pelanggaran kebebasan berekspresi bergantung di kerangka hukum yang secara tegas mampu menghadirkan perlindungan. Tulisan ini memilih untuk menyarankan penguatan ketentuan tentang kebebasan berekspresi lantaran sadar bahwa produk legislasi seperti UU mengikat lebih kuat banyak pihak. Tidak lupa juga bahwa sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sudah memberikan pengakuan pada kebebasan berekspresi. Misalnya seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, walau memang cara menyampaikan pendapat dan juga pendefinisian ‘di muka umum’ dalam regulasi tersebut perlu disesuaikan dengan konteks pergeseran ke ruang digital saat ini.
Saran lain yang juga penting adalah soal pembenahan aturan-aturan yang sering digunakan sebagai alat pembungkaman hingga kriminalisasi. UU ITE menjadi contoh klasik dari ketentuan yang bermasalah, karena catatan kasus yang menggunakan klausa problematis di regulasi ini tidaklah sedikit. Tulisan penulis pada edisi lain kolom Wacana berjudul “Masih Saja Ada Ancaman UU ITE di Masa Pandemi” menjelaskan secara singkat fenomena tersebut.
Usulan terakhir tulisan ini berkaitan dengan upaya penguatan perlindungan data pribadi pengguna internet. Sebab, komponen ini paling sering digunakan dalam kasus-kasus seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka, perlindungan yang disematkan pada data pribadi dari ancaman peratasan, pengintaian, dan beragam pelanggaran kebebasan berekspresi di ruang digital mutlak diperlukan. Oleh karenanya, proses pengundangan rancangan UU perlindungan data pribadi harus mengikutsertakan persoalan kebebasan berekspresi di ruang digital, dengan kondisi UU tentang Kemerdekaan Menyampaian Pendapat di Muka Umum tidak bisa diperbaharui dalam waktu dekat.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research