Ancaman dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada warganet yang melontarkan kritik menghadirkan kesadaran bahwa upaya pembungkaman kebebasan berekspresi masih menjadi soal yang nyata. Cuitan tertanggal 4 Agustus tersebut memang telah dihapus oleh akun twitter Kemenkes. Akan tetapi, persoalan ancaman dan aduan atas kritik tetap saja memunculkan kekhawatiran banyak kalangan.
Lantas, kebebasan berekspresi di dunia digital seakan tidak terlepas dari tindak pengintaian. Sudah dipahami bahwa pengawasan aktivitas pengguna internet memang menghasilkan pundi-pundi emas bagi perusahaan teknologi (Sudibyo, 2019). Namun, kondisi tak menguntungkan tersebut akhirnya bertambah muram dengan adanya pengawasan dari entitas lain, yaitu negara. Tentu, dengan intensi yang berbeda dari kepentingan ekonomis perusahaan teknologi.
Di masa pandemi pun, sejumlah kasus yang dianggap melanggar pasal-pasal Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) banyak ditemukan. Mulai dari penangkapan pada orang yang dianggap membuat gaduh karena mentransmisikan kabar palsu terkait Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), hingga respons yang represif terhadap kritik penanganan pandemi Negara yang dinilai buruk. Kasus-kasus itu menggambarkan secara terang bagaimana Negara sebetulnya mengelola masa krisis kesehatan, dari fase awalnya di Februari 2020 lalu.
UU ITE: Persoalan dan Daftar Korban
Perlu diingat juga bahwa peraturan yang digunakan dalam mengancam dan/atau menuntut kebebasan berekspresi warga negara merupakan regulasi yang problematis. Sejak pengundangannya pada April 2008, UU ITE sudah dinilai sebagai peraturan yang bermasalah oleh banyak pihak.
Bahkan, setelah revisi ketentuan tersebut diundangkan pada November 2016, pasal-pasal yang ambigu masih saja ditemukan. Sebut saja pasal yang berkaitan dengan ujaran kebencian (Pasal 27 ayat 1) dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3). Keduanya memang menjadi pasal yang paling rutin digunakan.
Dari kedua pasal tersebut, berderetlah ratusan korban. Daftar korban UU ITE yang dihimpun oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) hingga April 2020 memperlihatkan 209 kasus yang dituduhkan menggunakan Pasal 27 ayat 3, dan 8 kasus yang dituduhkan dengan Pasal 27 ayat 1. Mirisnya, barang bukti yang seringkali digunakan dalam aduan merupakan aktualisasi keresahan individu-individu di media internet. Sebuah bentuk ekspresi yang sepatutnya dilindungi.
Untuk masa awal krisis kesehatan di Indonesia, kasus di awal Maret 2020 menjadi yang pertama terjerat pasal UU ITE. Kasus ini disebabkan oleh unggahan facebook seorang warga berisi kabar palsu adanya pasien COVID-19 di RSUD dr Agoesdjam Ketapang. Setelahnya, daftar bertambah hingga April dan mencapai 13 kasus. Di luar UU ITE, sejumlah orang juga terjerat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana karena menimbulkan keonaran dengan menyebarkan informasi terkait COVID-19.
Akan tetapi, terlepas dari aksi menyebarkan kabar palsu yang memang harus dilawan, daftar yang dihimpun Safenet memperlihatkan adanya relasi kuasa yang timpang antara pihak pengadu dengan pihak yang diadukan menggunakan pasal UU ITE. Jejak kasus kontroversial seperti Prita melawan RS Omni Batavia, dan Baiq Nuril (guru) melawan H. Muslim (kepala sekolah) dapat menjadi ilustrasi paling benderang tentang ketimpangan yang dihadirkan UU ITE. Hal ini lantas berpotensi terjadi lagi, seperti Kemenkes yang memberi ancaman saat berhadapan dengan seorang warganet yang mengkritik.
Menyuarakan lagi pentingnya revisi UU ITE akhirnya menjadi opsi yang rasional. Hal ini juga bisa dibarengi dengan membentuk perkumpulan pengguna internet yang menyadari potensi ancaman digital, seperti De Datavakbond yang diinisiasikan di Belanda sebagai perhimpunan yang memposisikan data pribadi pengguna platform media sosial sebagai kekayaan intelektual yang harus dilindungi.
Adanya organisasi yang sadar akan potensi ancaman di ruang digital dapat semakin menguatkan pesan yang ingin disampaikan. Keberadaannya juga akan saling melengkapi, misalnya dengan Paguyuban Korban UU ITE yang diisi oleh individu-individu yang menjadi korban jeratan regulasi tersebut.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research