Setiap tanggal 30 Juli diperingati sebagai hari Perlawanan terhadap Perdagangan Manusia Sedunia (World Day Against Trafficking in Person). Data Badan Perburuhan Perserikatan Bangsa-Bangsa-PBB (ILO-International Labour Organization) menyatakan bahwa saat ini ada sekitar 21 juta orang menjadi korban perdagangan orang dan kemudian dipekerjakan menjadi pekerja paksa termasuk pekerja seks.
Setiap negara di dunia terkena dampak perdagangan manusia, baik sebagai negara asal, transit, atau tujuan korban. Anak-anak merupakan sepertiga dari seluruh korban perdagangan manusia di seluruh dunia, menurut Laporan Global tentang Perdagangan Orang 2016 yang dikeluarkan oleh kantor PBB untuk Narkoba dan Kriminal (United Nations Office on Drugs and Crime-UNODC). Lebih jauh, perempuan dan anak perempuan adalah 71 persennya dari korban perdagangan manusia tersebut.
Dalam konteks Indonesia, Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2016 yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara asal utama, pada tataran tertentu, dan tujuan, serta transit bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak Indonesia untuk menjadi pekerja paksa dan korban perdagangan seks. Setiap provinsi di Indonesia merupakan daerah asal sekaligus tujuan perdagangan orang.
Pemerintah memperkirakan sekitar 1,9 juta dari 4,5 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan, tidak memiliki dokumen atau telah tinggal melewati batas izin tinggal. Situasi ini meningkatkan kerentanan mereka terhadap perdagangan orang. Warga negara Indonesia dieksploitasi manjadi pekerja paksa di luar negeri, terutama dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga, buruh pabrik, pekerja konstruksi, dan buruh di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, sekaligus menjadi korban perdagangan seks.
Khusus untuk perdagangan perempuan, di Indonesia menjadi masalah yang serius dan sering kali berkelindan dengan perdagangan anak-anak. Hal ini kemudian membutuhkan kebijakan yang komprehensif. Namun, yang juga jamak ditemui di daerah-daerah Indonesia adalah adanya kebijakan berupa peraturan daerah (perda) pelacuran, yang niatnya untuk mencegah perempuan sebagai korban eksploitasi seksual, pada tataran implementasinya ternyata banyak menimbulkan masalah dan mengundang pro dan kontra di masyarakat.
Contohnya adalah Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang. Perda ini banyak dikeluhkan perempuan terutama bagi mereka yang kena razia. Mereka kena razia adalah karena memakai pakaian tertentu yang disimbolkan sebagai pakaian pekerja seks dan atau berada di luar rumah di jam-jam yang dikategorikan sebagai ‘jam-jamnya pekerja seks keluar’, umumnya larut malam. Hasil dari implementasi penerapan Perda ini kemudian adalah banyaknya korban salah tangkap saat razia.
Di sisi lain, Perda ini diskriminatif, tidak peka sosial terhadap perempuan dan tidak melihat persoalan prostitusi secara komprehensif (Yuliani, 2014). Pada Perda ini misalnya, motivasi penetapannya- yang termaktub di dalam bagian Pertimbangan dari Perda tersebut adalah “ Bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi –sendi kehidupan masyarakat; Bahwa dalam upaya melestarikan nilai – nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek – praktek Pelacuran di Kota Tangerang perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pelarangan Pelacuran”.
Akar masalah prostitusi amat kompleks dan multidimensional, tidak sekadar karena persoalan moralitas. Prostitusi marak bisa karena faktor kemiskinan, pengangguran, rendahnya pendidikan, konsumerisme atau perekonomian negara yang gagal. Oleh karena itu, pencegahan dan penghapusan perdagangan perempuan tidak bisa hanya dari pendekatan hukum dan moral semata-mata, tetapi juga pendekatan sosial, ekonomi, budaya, dan perlindungan hak azasi manusia.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com