Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan yang berpotensi mengubah dinamika politik Indonesia. Dalam Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024, MK menetapkan bahwa calon legislatif (caleg) yang telah terpilih tidak dapat mengundurkan diri untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Keputusan ini, yang diumumkan oleh Ketua MK Suhartoyo pada 21 Maret 2025, menegaskan bahwa caleg terpilih hanya diperbolehkan mundur jika mendapatkan penugasan negara untuk jabatan yang tidak melalui pemilu, seperti menteri atau duta besar.
Keputusan ini menimbulkan perdebatan di kalangan pengamat politik dan masyarakat. Di satu sisi, langkah MK ini dipandang sebagai upaya memperkuat integritas demokrasi dengan mencegah praktik politik transaksional, di mana kursi legislatif hanya dijadikan batu loncatan menuju jabatan eksekutif. Keputusan ini dapat memastikan bahwa caleg terpilih tetap menjalankan amanah yang telah diberikan oleh konstituen. Jika seorang caleg terpilih kemudian mundur demi mencalonkan diri di pilkada, hal ini tidak hanya mengkhianati kepercayaan pemilih, tetapi juga menutup peluang bagi kandidat lain yang memang ingin berkontribusi di legislatif.
Namun, dari sudut pandang hak politik individu, putusan ini bisa dianggap sebagai bentuk pembatasan. Setiap warga negara seharusnya memiliki kebebasan untuk mencalonkan diri dalam jabatan publik, termasuk mereka yang telah terpilih sebagai anggota legislatif. Dengan adanya larangan ini, potensi calon kepala daerah dari kalangan legislatif bisa berkurang, meski di sisi lain, ini juga membuka peluang bagi figur-figur baru di luar parlemen.
Dalam perspektif yang lebih luas, keputusan MK ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem kaderisasi partai politik. Seperti yang ditekankan dalam Primaresti (2024) dalam Update Indonesia Edisi Januari 2025, partai politik seharusnya lebih serius dalam melakukan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Jika partai hanya bergantung pada figur-figur yang telah berada di legislatif, tanpa menyiapkan kandidat potensial lainnya, pilihan untuk calon pemimpin yang akan berlaga di kontestasi politik juga makin terbatas dan kualitas kompetisi politik bisa menurun. Oleh karena itu, partai perlu memiliki strategi jangka panjang dalam membangun kepemimpinan yang siap berkontribusi baik di legislatif maupun eksekutif.
Sebagai jalan tengah, mekanisme alternatif perlu dipertimbangkan agar tetap menjaga keseimbangan antara integritas pemilu dan kebebasan politik individu. Salah satu opsi yang diusulkan adalah pemberian sanksi bagi caleg terpilih yang ingin maju pilkada. Misalnya, dalam bentuk denda atau larangan mencalonkan diri dalam periode tertentu jika mereka kalah. Mekanisme seperti ini dapat mencegah sikap oportunis dalam politik, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Ke depan, penyelenggara pemilu dan partai politik harus memastikan bahwa aturan ini dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh peserta kontestasi politik. Sosialisasi yang efektif akan mencegah polemik berkepanjanga,n serta memberikan pemahaman kepada publik mengenai urgensi menjaga komitmen dalam sistem demokrasi. Dengan demikian, keputusan MK ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki kualitas politik di Indonesia, bukan sekadar sebagai penghalang bagi ambisi politik individu.
Felia Primaresti
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
felia@theindonesianinstitute.com