Dalam satu bulan terakhir ini, eskalasi politik menjelang Pemilu Serentak 2019 mendatang mulai memanas. Konsolidasi partai untuk memenangkan Pemilu Legislatif (Pileg) sekaligus calon presiden yang mereka usung mulai digalakkan. Namun, beberapa anggota Partai Demokrat dan Golkar menunjukkan hal yang menyimpang dari pakem kampanye pada umumnya. Sebagai bagian dari partai yang mendukung Prabowo-Sandi, beberapa anggota Partai Demokrat malah secara terbuka mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Amin. Begitu juga terjadi sebaliknya ditubuh Golkar. Tulisan ini ingin memberikan penjelasan mengapa fenomena semacam ini bisa terjadi.
Manuver yang dilakukan oleh beberapa anggota partai tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mengamankan suara partai mereka. Pasalnya, basis pemilih partai tersebut di daerah-daerah tertentu tidak memberikan dukungan total kepada pasangan capres yang diusung oleh partai mereka. Sebagian pemilih mereka justru akan memilih pasangan yang tidak didukung oleh partai mereka. Fenomena pembagian suara kepada kandidat dari partai yang berbeda dalam teori ilmu politik disebut sebagai Split Ticket Voting (STV). Dalam konteks Indonesia, pemilih membagi pilihannya diantara beberapa pemilihan, seperti pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Akan adanya STV dalam Pemilu 2019 mendatang tergambarkan dalam temuan survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan September lalu. Dalam temuan survei tersebut, setidaknya terdapat 53 persen pemilih Partai Demokrat yang akan memilih Jokowi-Amin. Pemilih Partai Demokrat yang akan memilih Prabowo-Sandi hanya sebesar 43,4 persen. STV dengan persentase yang cukup besar juga terjadi di Hanura dan PPP. Diantara pemilih PPP, terdapat 44,4 persen pemilih PPP yang akan memilih Prabowo-Sandi. Sedangkan pemilih Partai Hanura kesolidan pemilih masih 50:50 persen.
Setidaknya ada empat penjelasan mengapa STV terjadi. Pertama, Model Keseimbangan yang dikembangkan oleh Fiorina (1988) menjelaskan bahwa STV sangat mungkin terjadi pada pemilih yang relatif moderat atas spektrum ideologi yang ada. Dalam kasus pemilu di Amerika, pemilih tidak ingin kebijakan yang terlalu liberal maupun konservatif.
Kedua, Model Konflik Harapan yang dikembangkan oleh Jacobson (1987). STV terjadi ketika pemilih berusaha memuaskan keinginan melalui kandidat sekalipun partainya berbeda. Ketiga, Model Kepemilikan Isu yang dikembangkan oleh John Petrocik (1996). STV terjadi karena pemilih menetapkan standar yang berbeda dalam pemilu yang berbeda. Pada Pilpres, pemilih lebih memandang isu dan progam yang ditawarkan oleh capres. Sedangkan di dalam Pileg, pemilih cenderung lebih memilih sosok.
Keempat, M. Qodari (2016) menambahkan Model Keterbatasan Informasi (Low Information). STV terjadi bukan karena kesengajaan dan pertimbangan rasional dari pemilih seperti tiga model di atas. Melalui pengamatannya di Indonesia, STV terjadi karena adanya kedekatan pada partai dan kesukaan pada kandidat. Hal ini terjadi karena pengetahuan pemilih pada partai dan kandidat relatif rendah, sehingga pemilih tidak dapat membedakan program dan kandidat.
Dengan memperhatikan beberapa model penjelas terjadinya STV tersebut, apakah manuver yang dilakukan oleh beberapa kader Partai Demokrat dan Golkar tersebut tepat untuk meningkatkan suara partai mereka dalam Pileg mendatang?
Jika berbasis pada Model Low Information yang dikembangkan berdasarkan konteks sosiologis pemilih Indonesia, manuver yang dilakukan oleh kader Partai Demokrat dan Golkar sangat mungkin meningkatkan suara mereka. Hal ini dikarenakan tingkat Party-ID masyarakat Indonesia terbilang cukup rendah.
Survei SMRC pada bulan Desember 2017 menemukan bahwa tingkat Party-ID masyarakat Indonesia hanya 11, 7 persen. Rendahnya Party-ID tersebut dapat dimanfaatkan oleh partai untuk diambil dukungannya. Seperti yang dilakukan oleh kader-kader Partai Demokrat di Papua, yang mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi, padahal pada Pileg 2014 lalu, Demokrat mendapatkan suara yang cukup tinggi di sana.
Namun, strategi semacam itu tidak cukup untuk meningkatkan suara partai politik dalam Pileg. Kunci keberhasilan lain untuk meningkatkan suara partai dalam Pileg ialah ketepatan memilih caleg sekaligus ketelitian dalam merumuskan harapan. Masih ada waktu hingga tujuh bulan ke depan bagi partai untuk menyerap aspirasi masyarakat untuk meningkatkan perolehan suara.
Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute,