Minggu lalu, Presiden Jokowi melakukan serangkaian kunjungan ke Indonesia bagian timur, termasuk ke tanah Papua. Kunjungan Jokowi ke tanah Papua kali ini adalah untuk yang kedua kalinya semenjak menjadi Presiden Oktober tahun lalu. Jika kita lihat ke belakang, mengunjungi Papua memang adalah komitmen yang disampaikan Jokowi semenjak masa kampanye.
Pertanyaan lanjutannya kemudian adalah mengapa Papua? Ini tentulah bukan sebuah pilihan acak tanpa alasan kuat. Jamak kita ketahui bahwa melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 pemerintah memberikan otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan ketika Papua Barat menjadi provinsi sendiri, melalui Perppu 1/2008 juga memberi dasar hukum pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua Barat.
Aturan legal terkait otonomi khusus ini dibentuk sebagai upaya penegakan hak-hak dasar orang asli Papua melalui keberpihakan (affirmative action), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment).
Pemberian otonomi khusus ini dalam konteks pembangunan adalah untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, semenjak diimplementasikan tahun 2001 sampai dengan saat ini UU Otsus Papua tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Aspek kesejahteraan yang mencakup bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial, pekerjaan sosial dan rekreasional, belum dapat dinikmati oleh semua penduduk Papua. Artinya, belum tercapai kesejahteraan sosial di Papua karena pemenuhan kebutuhan fisik, mental, sosial dan spiritual serta keebutuhan ekonomi, karena tidak semua warga dapat terpenuhi kebutuhannya secara optimal dan riil. Muara dari permasalahan ini adalah masih tingginya angka kemiskinan di Papua.
Menurut data Susenas pada Maret 2014, tiga provinsi di Kawasan Timur Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah dengan persentase penduduk miskin terbesar yaitu berturut-turut 30,05 persen, 27,13 persen; dan 19,82 persen.
Masih tingginya angkat kemiskinan di tanah Papua, mengindikasikan bahwa perlakukan khusus lewat otonomi khusus untuk Papua serta kucuran dana yang juga besar, belum bisa mengatasi permasalahan kesejahteraan di tanah Papua.
Bertolak dari hal ini, menjadi relevan kemudian mengapa Papua. Namun, konteks kunjungan Jokowi perlu lebih diperjelas dan dikonkretkan. Bukan sekedar seremonial mengunjungi Papua. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh Jokowi dan kaitannya dengan status otonomi khusus Papua adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi khusus yang sudah berjalan sejak 2001 tersebut.
Evaluasi haruslah dalam berbagai aspek seperti pelaksanaan program-program pembangunan yang didanai dari dana otonomi khusus, pelaksana program termasuk ke persoalan dana otonomi khusus itu sendiri, dalam kaitan efektivitas dan efisiensi pemakaiannya.
Hal penting lain terkait proses evaluasi pelaksanaan otonomi khusus ini adalah pelaksana evaluasi ini sebaiknya multi stakeholder. Dari unsur pemerintah dan juga masyarakat sipil. Hal ini agar perspektif yang digunakan beragam dan bisa melihat implementasi otonomi khusus ini secara lebih objektif dan komprehensif.
Lola Amelia, Peneliti bidang Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. lola@theindonesianinstitute.com