Pada Maret lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menunda empat tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Penundaan itu dilakukan melalui Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020, yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret. KPU lantas menghentikan sementara tahapan pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP), dan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih (mutarlih).
Tiga bulan setelahnya, keputusan tersebut dicabut melalui Keputusan KPU Nomor 258/PL.02-Kpt/01/KPU/VI/2020. Setelah sebelumnya para stakeholders Pilkada melakukan sejumlah Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akan tetapi, pelaksanaan lanjutan dari tahapan Pilkada tetap saja mengkhawatirkan. Terlebih, adanya kerumunan massa pada momen pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) memperlihatkan kondisi yang bertentangan dengan idealisasi pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi.
Protokol kesehatan hanya menjadi legitimasi keberlanjutan Pilkada 2020 di tengah ancaman coronavirus disease 2019 (COVID-19). Sebab, protokol tersebut tidak berhasil menjadi instrumen pembeda, yang memberikan cara main tak biasa bagi para bapaslon yang mendaftar. Pernyataan para bapaslon seperti tidak mengetahui adanya larangan pengumpulan massa, sampai dengan ketidakmampuan mengendalikan euphoria masyarakat malah dijadikan argumentasi pembenar atas apa yang terjadi di momen pendaftaran.
Kenyataan tersebut menghadirkan kegamangan. Bukan hanya bagi kalangan pemerhati pemilu, namun juga bagi masyarakat luas. Sebab, ekses dari pelanggaran protokol kesehatan di masa pendaftaran akan menimbulkan sumber-sumber penularan COVID-19 yang baru. Penularan ini akan menyasar kelompok masyarakat secara acak.
Tantangan semakin berat, karena proses penelusuran (tracing) penyebaran virus dalam kerumunan tidak akan bisa secara pasti mencakupi keseluruhan interaksi yang terjadi. Maka, pemerintah daerah –termasuk kepala daerah yang kembali mencalonkan diri ataupun tidak- sudah seharusnya merasa keberatan atas fenomena kerumunan massa tersebut. Sebab, beban kerja mereka dalam melawan COVID-19 menjadi semakin berat.
Tapi, fakta di lapangan memperlihatkan keadaan yang berbeda. Banyak petahana justru menjadi terduga pelanggar protokol kesehatan, karena turut andil dalam menghadirkan kerumunan massa. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian bahkan harus mengirimkan surat teguran sebanyak 72 buah kepada kepala daerah yang di wilayahnya diduga terjadi pelanggaran protokol kesehatan di momen pendaftaran bapaslon Pilkada 2020.
Pertaruhan masih berlanjut. Masa kampanye yang akan dimulai tiga hari setelah penetapan pasangan calon (paslon) juga berpotensi menghadirkan kerumunan massa yang sama. Bagaimana tidak, Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 (PKPU 6/2020) jo Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 (PKPU 10/2020) senyatanya masih mengakomodir bentuk-bentuk kampanye temu wajah.
Bentuk kampanye temu wajah tersebut tertera di Pasal 63 ayat (1). Misalnya seperti rapat umum, kegiatan pentas seni, panen raya, konser musik, gerak jalan, sepeda santai, perlombaan, bazar, donor darah, hingga peringatan hari ulang tahun partai politik.
Lantas, tidak ada yang bisa menjamin model berkampanye tersebut akan terbebas dari pelanggaran protokol kesehatan, karena tahap pendaftaran bapaslon yang pelarangannya sudah jelas saja masih dilanggar. Oleh sebab itu, opsi menunda Pilkada 2020 menjadi sangat penting untuk terus digaungkan. Ini bukan semata pelaksanaan hak konstitusional warga untuk memilih saja. Lebih dari itu, keselamatan warga negara haruslah menjadi yang utama.
Landasan Penundaan
Tentu diperlukan dasar yang cukup ketika proposal penundaan Pilkada disuarakan. Oleh sebab itu, kita akan kembali menarik hal-hal yang sebelumnya sudah disepakati para pemangku kepentingan Pilkada 2020.
Pertama, dalam RDP yang dilakukan pada 27 Mei 2020 lalu, ada tiga poin yang menjadi hasil rapat. Poin-poin tersebut diantaranya:
- Menyetujui hari pemungutan suara Pilkada di 9 Desember 2020.
- Seluruh tahapan Pilkada berpedoman pada protokol kesehatan dan prinsip demokrasi.
- Usul pengajuan alokasi anggaran secara lebih rinci dari KPU
Ketika fokus diarahkan ke poin kedua, didapati bahwasanya kesepakatan tersebut tidaklah terwujud. Belum lagi, saat menyetujui poin pertama, KPU menyarakan dalam RDP bahwa penerapan protokol kesehatan serta pemenuhan anggaran menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam melanjutkan penyelenggaraan Pilkada 2020.
Kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (Perpu 2/2020) yang diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 secara tegas memberikan kuasa kepada KPU untuk kembali melakukan penundaan. Pasal 201A ayat (3) dalam ketentuan tersebut menyatakan bahwa penundaan bisa ditunda dan dijadwalkan kembali ketika bencana nonalam telah berakhir.
Tantangan terakhir, dan mungkin yang terberat, sebetulnya ada di soal penetapan Keputusan KPU saat hendak kembali menunda Pilkada 2020. Sebab, Pasal 122A ayat (2) mengharuskan penundaan yang diajukan KPU itu harus disetujui oleh Pemerintah dan DPR RI. Kondisi tersebut tentulah menghadirkan dinamika yang rumit dan politis.
Alternatif ke Depan
Lantas, apa yang baiknya dilakukan oleh KPU jika penundaan bisa dilakukan? Ada dua hal penting yang harus diberi perhatian penuh oleh penyelenggara.
Pertama, dalam menyusun jadwal pelaksanaan Pilkada, KPU sebaiknya melakukan kalkulasi secara terbalik. Maksudnya, penentuan pelaksanaan Pilkada tidak dimulai dari menentukan tanggal pemungutan suara terlebih dahulu seperti yang dilakukan saat memutuskan 9 Desember sebagai hari pemungutan suara.
Namun, KPU bisa memulai dari menentukan tanggal bagi tahapan terdekat yang akan dilaksanakan. Misalnya, ketika KPU menunda Pilkada pada 22 September besok, tanggal yang pertama sekali harus ditentukan adalah tahapan kampanye. Setelah itu, KPU bisa melakukan penghitungan tahapan setelah kampanye hingga hari pemilihan. Tentu, hal ini harus mempertimbangkan durasi yang cukup agar persiapan penyelenggara dari semua sisi bisa matang.
Kedua, untuk bisa bergerak lebih progresif terhadap kondisi pandemi, KPU dan elemen masyarakat yang peduli pada pemilhan umum bisa mendorong revisi pada Undang-Undang (UU) Pilkada. Hal ini ditujukan agar KPU bisa lebih leluasa dalam memformulasikan PKPU, dan tidak merasa takut aturan yang dibuatnya bertentangan dengan UU. Sehingga, dalam bersengketa, misalnya oleh peserta Pilkada, celah-celah PKPU yang dianggap bertentangan dengan UU dapat tertutup rapat.
Penjabaran di atas pada akhirnya menekankan bahwasanya Pilkada 2020 masih sangat bisa ditunda, dan kita harus mendorongnya. Demi menjaga nyawa warga negara di masa pandemi yang menghadirkan ketidakpastian.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research