Beberapa waktu yang lalu, Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR RI) merilis daftar legislator yang sering tidak mengikuti rapat paripurna. Berbagai tanggapan yang pada umumnya negatif bermunculan di media. Di tengah terpuruknya citra lembaga legislatif tersebut, rilis nama legislator pembolos menambah daftar panjang citra negatif tersebut.
Sebagai sebuah lembaga legislatif, DPR RI memiliki mekanisme kerja yang sangat berbeda dengan eksekutif. Setiap legislator yang tergabung dalam fraksi tertentu akan ditempatkan di alat kelengkapan dewan yang terdiri dari komisi dan badan tertentu. Selain itu seringkali legislator tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) yang membahas suatu RUU tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, maka ada lebih dari satu jenis rapat dalam mekanisme kerja DPR RI. Menurut Pasal 220 Peraturan DPR RI Nomor 1/DPR RI/ Tahun 2009 tentang Tata Tertib terdapat sembilan belas jenis rapat yang dikenal dalam mekanisme kerja DPR RI. Setiap legislator yang diwajibkan mengikuti rapat-rapat tersebut semestinya hadir dan menyuarakan aspirasi pemilihnya, jika tidak bisa hadir maka harus ada alasan kuat yang mendasarinya.
Tingginya tingkat ketidakhadiran legislator dalam berbagai jenis rapat DPR RI seharusnya bisa dicegah dengan memperbaiki sistem kerja. Sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota yang tercantum dalam Tata tertib DPR RI ternyata tidak juga menimbulkan efek jera. Publikasi ke media massa yang dilakukan BK DPR RI justru menuai banyak protes dari internal karena dianggap data yang dirilis tidak valid.
Membuat jera legislator pembolos seharusnya dilakukan dengan cara mengubah sistem kerja internal DPR RI. Sistem kerja yang sekarang diberlakukan memberikan peluang bagi legislator untuk tidak mengikuti suatu rapat karena seringkali dalam suatu waktu seorang anggota DPR RI diundang dalam beberapa jenis rapat sekaligus karena kapasitasnya sebagai pimpinan fraksi, anggota komisi, anggota badan, anggota pansus, bahkan anggota tim pengawas.
Sistem kerja yang menutup kesempatan legislator untuk mangkir dari rapat adalah dengan membagi alat kelengkapan DPR RI hanya ke dalam tiga fungsi utama yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Seorang legislator hanya fokus dalam satu alat kelengkapan yang menjalankan fungsi tersebut. Selain itu persyaratan kuorum dalam rapat alat kelengkapan tidak berdasarkan fraksi, melainkan jumlah legislator yang hadir secara fisik, bukan sekedar tanda tangan semata.
Peran fraksi yang menaungi legislator juga seharusnya diperkuat terkait dengan mengontrol anggotanya yang sering mangkir rapat. Mekanisme sanksi internal fraksi bisa menjadi salah satu alat untuk mengawasi kinerja legislator terkait.
Mekanisme rapat paripurna juga seharusnya diubah, rapat yang seringkali hanya bersifat seremonial tersebut harus benar-benar sebagai ajang debat terakhir dalam membahas substansi RUU yang akan diputuskan. Bukankah setiap rapat paripurna DPR RI mengenai isu-isu krusial selalu ramai dihadiri oleh legislator? Semisal pembahasan RUU APBN yang memuat kemungkinan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Rasanya tidak bijak jika hanya menghujat legislator yang mangkir rapat karena alasan yang tidak jelas. Publik seharusnya juga harus mengapresiasi kinerja legislator yang selalu datang rapat DPR RI dan juga selalu berkesempatan mengunjungi konstituennya di dapil secara berkala tanpa mengabaikan tugas kedewananannya. Sangat ideal jika semua legislator kita dapat mengatur waktunya dengan baik agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Semoga!
Asrul Ibrahim Nur – asrul.ibrahimnur@yahoo.com