Mencari Solusi atas Stagnasi Kualitas Pendidikan di Masa Pandemi

Nisaaul Muthiah, Peneliti Bidang Sosial, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Sedih saat mengetahui bahwa Indonesia masih memiliki kualitas pendidikan yang buruk. Pada tahun 2020, angka mengulang kelas pada siswa Sekolah Dasar (SD) masih sebesar 4.35%. Sedangkan angka mengulang kelas pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), masih sebesar 3.31% (BPS, 2020). Selain itu, data terbaru Programme for International Student Assesment (PISA) menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan membaca, berhitung dan literasi ilmu pengetahuan pada pelajar Indonesia masih berada pada peringkat sembilan terendah di antara negara-negara peserta PISA lainnya (79 negara).

Tidak hanya di tahun 2018 saja, pada tahun 2015, rata-rata nilai pelajar Indonesia pada ketiga indikator di atas juga berada di peringkat yang tidak jauh berbeda (OECD, 2015). Kondisi tersebut menunjukkan stagnasi kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Apalagi di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) saat ini, banyak siswa yang mengalami kendala dalam penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) (Antara, 2020).

Berbagai kendala baik internal maupun eksternal dalam pelaksanaan PJJ membuat kualitas pembelajaran yang diterima oleh anak menurun. Hal tersebut terjadi karena berbagai kendala saat PJJ telah mengurangi kualitas dan kuantitas jam belajar anak. Kualitas belajar anak menurun karena adanya kendala di aspek teknologi. Kendala tersebut membuat anak tidak mampu menyerap pelajaran secara maksimal. Sedangkan kuantitas jam belajar anak menurun karena waktu efektif belajar saat PJJ lebih singkat dibanding proses belajar secara tatap muka. Karena itu, sangat dikuatirkan jika anak-anak di Indonesia akan tetap mengalami stagnansi atau bahkan penurunan kualitas pendidikan.

Adanya stagnasi kualitas pendidikan di Indonesia seharusnya menyadarkan kita bahwa terdapat kekurangan dalam sistem pendidikan kita. Jika kita melihat berbagai kebijakan pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia, mayoritas kebijakan-kebijakan tersebut bersifat parsial.  Selama ini, pemerintah hanya fokus pada satu aktor pendidikan, yaitu sekolah. Padahal dalam mendorong terciptanya kualitas pendidikan yang baik, dibutuhkan kerja sama aktor lain seperti orang tua dan perwakilan masyarakat (pemerintah) (Ki Hajar Dewantara dalam Usman, 2020).

Di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini, baik itu pemerintah, orang tua dan sekolah memiliki peran yang penting untuk proses PJJ. Pemerintah memang telah melibatkan orang tua dalam keputusan akan diadakannya PJJ, namun pemerintah belum melibatkan orang tua pada proses bagaimana orang tua mampu mendukung anak dalam PJJ. Entah itu dukungan berupa sikap dan karakter yang mendorong proses pembelajaran anak maupun dalam bentuk lainnya.

Sikap/perlakuan orang tua pada anak selama PJJ merupakan hal yang penting bagi proses pembelajaran. Pemerintah dapat memberi sosialisasi pada orang tua mengenai bentuk-bentuk perlakuan yang dapat mendorong proses belajar anak. Misalnya, sosialisasi mengenai cara berkomunikasi dan membangun semangat belajar anak. Sosialisasi serupa telah diterapkan oleh Pemda Bukittinggi pada tahun 2019 lalu (Yulman, 2019). Perlakuan orang tua pada anak merupakan aspek yang penting karena termasuk dalam Tri Pusat Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Apalagi di masa pandemi seperti saat ini anak-anak banyak menghabiskan waktu di lingkungan rumah.

Selain permasalahan di atas, masalah lain dalam proses pembelajaran di Indonesia adalah proses pengajaran yang masih berpusat pada guru (Prasetya, 2014; Makarim, 2020). Karenanya, beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan bahwa pemerintah akan memperbaiki kurikulum dan meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar. Salah satu aspek yang ditekankan oleh Mendikbud dalam perbaikan kurikulum tersebut yakni proses pembelajaran harus berpusat pada murid (Kasih, 2020; Makarim, 2020).

Salah satu cara yang dilakukan oleh Mendikbud untuk mendorong implementasi prinsip “murid sebagai pusat” adalah dengan meluncurkan sekolah penggerak (Mendikbud dalam Wahyuni, 2021). Sekolah penggerak didesain untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui peningkatan mutu guru dan kepala sekolah. Filsafat dasar sekolah penggerak menekankan pendampingan dalam proses belajar, sehingga guru mampu memahami kebutuhan dan kemampuan murid.

Sebenarnya, sebelum Menteri Pendidikan Nadiem menyatakan mengenai fokusnya pada prinsip “murid sebagai pusat”, kurikulum tahun 2013 pun sudah menekankan prinsip tersebut (Nuh, 2013). Dalam kurikulum 2013, penerapan prinsip tersebut dilakukan melalui guru yang mendorong agar siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Namun, prinsip tersebut belum diimplementasikan secara optimal. Maka dari itu, salah satu tugas Kemendikbud periode saat ini adalah memastikan agar prinsip “murid sebagai pusat” benar-benar diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Terlebih lagi di masa PJJ. Walaupun pembelajaran dilakukan secara daring, prinsip tersebut tetap harus diterapkan dalam proses pembelajaran.

Dengan demikian, penting untuk mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih memaksimalkan keterlibatan semua aktor pendidikan, yakni guru, orang tua dan pemerintah itu sendiri. Dengan memperbaiki penerapan pendidikan yang berpusat pada murid dan keterlibatan beragam aktor dalam pendidikan tersebut, diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia dapat membaik dan segera mengejar ketertinggalan dari negara lain.

 

Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nisaaul@theindonesianinstitute.com

Komentar