Mencari Calon Hakim Berkualitas dan Berintegritas

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Asman Abnur, telah memberikan persetujuan prinsip formasi calon hakim tahun 2017 sebanyak 1.678 orang. Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Kemenpan RB, Setiawan Wangsaatmadja, pada Sabtu, 10 Juni 2017 (www.menpan.go.id, 10/6/17).

Di samping itu MA juga telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim (Perma No. 2 Tahun 2017). Menindaklanjuti persetujuan Kemenpan RB dan Perma No. 2 Tahun 2017 tersebut, Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA, Witanto, mengatakan proses rekrutmen hakim akan dimulai pada pertengahan Juli 2017. Proses rekrutmen hakim di tahun 2017 sementara masih menggunakan sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sebab Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat dan belum diundangkan (Kompas.com, 28/6/17).

Menyikapi rencana rekrutmen hakim dengan sistem penerimaan CPNS, beberapa akademisi dan pakar hukum mengusulkan agar MA menunda rekrutmen hakim sampai RUU Jabatan Hakim disahkan. Jimly Asshiddiqie misalnya, menilai bahwa negara seharusnya merekrut hakim dari kelompok profesional dan bukan jalur CPNS. Sebab menurut Jimly, jabatan khusus hakim adalah sebagai pejabat negara yang bersifat kehormatan dan bukan jabatan kepegawaian. Melainkan jabatan dari orang-orang yang mempunyai integritas dan kehormatan tertentu untuk direkrut menjadi hakim (detiknews, 4/7/17).

Namun, MA sebagai lembaga yang berwenang melakukan rekrutmen hakim menilai proses rekrutmen harus tetap dilaksanakan tanpa menunggu RUU Jabatan Hakim disahkan. Beberapa urgensi perekrutan hakim yang disampaikan MA diberbagai media antara lain, pertama, sudah 7 tahun yakni sejak tahun 2010 tidak dilakukan seleksi calon hakim. Kedua, kekurangan hakim di beberapa pengadilan tingkat pertama. Ketiga, ke depan akan berpotensi menimbulkan masalah dalam regenerasi pengisian jabatan Pimpinan Pengadilan.

Menurut Setyo Pudjoharsoyo, Sekretaris MA, kondisi pengadilan di daerah hanya memiliki 3 hakim, sementara seharusnya minimal ada 6 hakim di pengadilan. Jika hanya ada 3 hakim artinya hakim-hakim tersebut tidak boleh sakit atau izin karena tidak ada yang menggantikan. Selain itu di dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) juga tidak boleh disidangkan oleh Majelis yang sama. Oleh karena itu minimal harus ada 2 majelis hakim yang artinya terdiri dari 6 hakim (detiknews, 7/7/17).

Selain perlunya menambah jumlah hakim, menurut MA rekrutmen hakim menjadi mendesak untuk mengganti hakim yang pensiun juga mengisi kekosongan hakim karena pemekaran. Ketua MA, Hatta Ali, menyatakan ada 86 pengadilan yang sudah keluar Keputusan Presiden (Keppres), namun belum dapat beroperasi karena belum ada hakim yang mengisi (mediaindonesia.com, 10/7/17).
Di satu sisi, menurut Penulis pertimbangan mengenai urgensi perekrutan hakim yang disampaikan oleh MA cukup rasional. Sehingga tidak berlebihan apabila MA ingin proses seleksi atau rekrutmen calon hakim segera dilakukan. Namun di sisi lain, hakim bukanlah pejabat pemerintah melainkan pejabat negara berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Sehingga tidak tepat menggunakan model atau sistem penerimaan CPNS.

Sistem rekrutmen hakim yang baru sebetulnya telah dirumuskan dalam RUU Jabatan Hakim yang mana RUU ini memang ditujukan untuk membenahi dunia peradilan di Indonesia dari sisi administrasi, rekrutmen, dan juga pembinaan. Oleh karena itu beberapa kalangan dari pengamat hukum tata negara seperti, Oce Madril, menyarankan perekrutan hakim ditunda dan menunggu RUU Jabatan Hakim disahkan. DPR RI menargetkan RUU Jabatan Hakim ini akan disahkan sebelum akhir tahun 2017. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, setelah Rapat Kerja Komisi III bersama Pemerintah beberapa bulan lalu (29/5/17) (Kompas.com, 29/5/17).

Akan tetapi, Penulis, dan barangkali kita semua, juga menyadari bahwa pembahasan RUU di DPR selama ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun RUU Jabatan Hakim ini merupakan RUU inisiatif DPR dan masuk ke dalam RUU prioritas, akan tetapi kita tidak dapat memastikan apakah RUU Jabatan Hakim ini benar-benar akan disahkan sebelum akhir tahun ini atau tidak. Sementara keterdesakan kebutuhan hakim dan beberapa alasan lainnya sebagaimana Penulis sebutkan di atas tentu bukanlah alasan yang patut diabaikan. Oleh karena itu Penulis tetap mendukung apabila MA tetap ingin membuka rekrutmen hakim di tahun ini.

Selain fokus pada upaya pemenuhan jumlah kebutuhan hakim, proses rekrutmen menurut Penulis perlu difokuskan untuk memilih calon hakim baru yang berkualitas dan berintegritas sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Mengingat hakim adalah aktor utama penegakan hukum di pengadilan yang mempunyai peran sangat penting dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat.

Proses rekrutmen adalah pintu masuk awal untuk memilih calon hakim yang berkualitas dan berintegritas tersebut. Oleh karena itu proses rekrutmen perlu dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Menurut Penulis, salah satu upaya untuk mewujudkan sistem rekrutmen yang transparan dan bertanggung jawab tersebut, MA dapat melibatkan partisipasi publik sebagai fungsi kontrol atau pengawasan.

Penulis sepakat dengan pernyataan Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Liza Fariha, (Kompas.com, 30/6/17), bahwa jangan sampai transparansi dan keterbukaan di dalam proses seleksi hakim hanya sebatas mengumumkan semua tahapan seleksi.

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar