Foto Antara

Re-evaluasi Sistem Seleksi Hakim Konstitusi

Pada hari Kamis, 26 Januari 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, sebagai tersangka kasus suap. Penetapan ini dilakukan setelah Patrialis diperiksa secara intensif pasca ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK pada Rabu, 25 Januari 2017.

Patrialis diduga menerima suap sebesar 20.000 USD dan 200.000 dollar Singapura, atau senilai 2,15 miliar dari pihak bernama Basuki Hariman, pengusaha daging impor, untuk mengabulkan gugatan uji materi UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan dan Kesehatan Hewan). Suap tersebut dilakukan melalui perantara bernama Kamaludin. Meskipun membantah telah menerima suap, dan mengaku kepada media bahwa dirinya merasa dizalimi, Patrialis pada akhirnya tetap ditahan (Tempo.co, 30/01/17).

Dalam perkembangannya, Patrialis Akbar akhirnya melayangkan surat pengunduran diri sebagai hakim konstitusi pada Senin, 30 Januari 2017. Meskipun Patrialis telah mengundurkan diri, sidang Majelis Kehormataan Hakim Konstitusi (MKMK) terhadap Patrialis tetap dilaksanakan untuk mengusut pelanggaran berat yang telah dilakukannya. Sebab Keputusan MKMK ini akan menjadi dasar bagi MK dalam menentukan pengajuan status pemberhentian seorang hakim konstitusi kepada Presiden, apakah melalui pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat.

Tertangkapnya Patrialis Akbar oleh KPK telah mengejutkan berbagai pihak. Kredibilitas MK pun kembali dipertanyakan publik. Sebab ini merupakan kali kedua hakim konstitusi terjerat kasus korupsi berupa suap. Sebelumnya di tahun 2013, kasus suap pernah menimpa mantan Ketua Hakim MK, Akil Mochtar, dalam perkara penanganan Pemilihan Umum Kepala Daerah Gunung Mas dan Lebak. Kasus tersebut berakhir ditingkat kasasi dengan vonis berupa hukuman seumur hidup terhadap Akil Mochtar.

Peristiwa ini juga membuat beberapa pihak menilai MK terkesan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya diungkapkan oleh Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun. Menurutnya beberapa putusan MK juga dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi. Misalnya putusan soal perluasan obyek praperadilan meliputi penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Kemudian putusan MK mengabulkan permohonan pembatalan Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang berakibat narapidana bisa mengikuti pilkada (Tempo.co, 27/01/17).

Boeyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) pun meminta Dewan Etik MK tidak hanya memeriksa Patrialis Akbar tetapi juga memeriksa hakim-hakim konstitusi lainnya. Penangkapan Patrialis menurutnya membuktikaan adanya suap yang terjadi di MK dan ia khawatir juga terjadi dalam perkara uji materi undang-undang lainnya, misalnya UU Tipikor (Kompas.com, 29/01/17). Hal ini menunjukkan kembali menguatnya kekhawatiran dan keraguan masyarakat terhadap independensi, imparsialitas, dan integritas MK.

Penulis sendiri sangat menyayangkan peristiwa yang kembali mengguncang martabat dan citra MK yang saat ini sedang dibangun kembali. Penulis sepakat dengan banyak pihak bahwa peristiwa ini menjadi dasar kuat pentingnya melakukan re-evaluasi sistem seleksi hakim konstitusi yang selama ini dirasa belum sepenuhnya terbuka.

Hakim konstitusi berdasarkan Pasal 24 C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Presiden, yang selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Mengenai prosedur pemilihan atau seleksi, berdasarkan Pasal 19 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

Sementara Pasal 20 UU MK hanya menerangkan bahwasanya ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yaitu MA, DPR, dan Presiden secara obyektif dan akuntabel. Di sinilah letak awal permasalahannya, bahwa masing-masing lembaga yakni MA, DPR, dan Presiden, selama ini memiliki mekanisme seleksi yang berbeda-beda dan tidak semuanya terbuka.

Menurut Fajrul Falaakh, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, selama ini seleksi hakim konstitusi di DPR memang sudah cukup terbuka. Namun keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi “koalisi pendukung Presiden” ditubuh MK. Selanjutnya seleksi yang dilakukan di MA juga tidak pernah transparan pada tahun 2008, 2010 dan 2013. Sedangkan seleksi yang dilakukan oleh Presiden hasil juga tidak transparan di tahun 2008, 2011, dan 2013 (vide Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014: hlm. 62).

Di tahun 2013, setelah tertangkapnya Ketua Hakim MK Akil Mochtar, Pemerintah berupaya memperbaiki sistem seleksi hakim konstitusi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 (Perppu No. 1/2013). Perppu No.1/2013 akhirnya diundangkan menjadi UU No 4 Tahun 2014 sebagai pengganti UU MK yakni UU No. 24 Tahun 2003. UU No. 4 Tahun 2014 jo. Perppu No. 1/2013 sebagai UU MK yang baru pada saat itu mengatur tentang pembentukan Panel Ahli oleh Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan bagi para calon hakim konstitusi.

Namun sayangnya, MK membatalkan secara keseluruhan UU tersebut melalui Putusan MK Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014. Salah satu pertimbangan hakim pada waktu itu adalah seleksi calon hakim konstitusi oleh Panel Ahli telah mengurangi, bahkan mengambil alih kewenangan konstitusional yang diberikan UUD NRI 1945 kepada Presiden, DPR, dan MA. Pada akhirnya sistem seleksi hakim konstitusi kembali menggunakan pola yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003.

Hari ini, setelah kasus suap kembali menimpa MK, perbaikan sistem seleksi kembali menjadi wacana yang menguat. Sebab, sistem seleksi merupakan hal yang sangat krusial karena menjadi pintu masuk utama bagi terpilihnya hakim konstitusi yang berkualitas dan berintegritas.

Dalam pandangan Penaulis, ide pembentukan Panel Ahli atau Tim Seleksi yang pernah diajukan oleh Pemerintah adalah gagasan yang relevan dan patut dipertimbangkan. Supaya tidak mengurangi kewenangan konstitusional dalam hal seleksi hakim konstitusi oleh MA, DPR, dan Presiden, Panel Ahli atau Tim Seleksi dapat dibentuk oleh masing-masing lembaga tersebut. Menurut Pan Mohammad Faiz, Peneliti di Mahkamah Konstitusi, pembentukan panitia atau panel ahli akan dapat mengurangi kepentingan personal dan subjektivitas keputusan yang dibuat oleh Presiden, DPR, dan MA (Sindonews.com, 02/02/17).

Selain itu agar tercipta parameter yang jelas terkait kelayakan calom hakim konstitusi, maka MA, DPR, dan Presiden dapat membentuk peraturan bersama yang mengatur tentang Pedoman Kelayakan Hakim Konstitusi. Hal ini menurut Penulis penting supaya hakim yang terpilih dari seleksi oleh Tim Seleksi atau Panel Ahli yang dibentuk oleh masing-masing lembaga tersebut mampu menghasilkan hakim konstitusi dengan parameter yang objektif.

 

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar