Jumat, 24 Mei 2019, pukul 22.48 WIB, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menerima gugatan sengketa pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden (pilpres) 2019, yang diajukan oleh Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi), pasangan calon (paslon) nomor urut 02. Sebagaimana diketahui, hasil rekapitulasi suara pemilu yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu 21 Mei, menunjukkan kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf), paslon nomor urut 01, yang mencapai 85.607.362 suara atau sebesar 55.50 persen dari total keseluruhan surat suara sah yang berjumlah 154.257.601 suara.
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan KPU Nomor 987/Pl.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 (SK KPU Penetapan Hasil Pemilu 2019), yang disatu sisi juga menujukkan kekalahan paslon nomor urut 02, dengan perolehan suara sebesar 68.650.239 suara atau hanya sebanyakk 44,50 persen. Demikian rentang selisih perolehan suara dari kedua paslon tersebut, dapat dikatakan berada pada kisaran 11 persen atau sebesar 16.957.123 suara.
Sayangnya, meski hasil pemilu tersebut telah diumumkan, friksi pilpres yang tengah berlangsung jauh sebelum pasangan calon presiden dan wakil presiden itu sendiri ditetapkan, masih saja berlanjut dan belum menemukan titik redamnya hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari berbagai rentetan peristiwa seperti unjuk rasa yang sempat menelan beberapa korban jiwa, sesaat setelah penetapan tersebut diumumkan, hingga perang tagar yang hari-hari ini masih menyesakkan jagat media sosial.
Oleh karena itu, di tengah carut-marutnya kondisi tersebut, langkah paslon 02 yang akhirnya menempuh mekanisme hukum yang telah ada, merupakan langkah bijak yang sangat patut diapresiasi. Hal ini setidaknya dapat dinilai lebih baik, ketimbang merecoki nalar masyarakat dengan cara-cara membangun narasi kontra demokrasi dan supremasi hukum, serta yang tidak dapat ditanggungjawabkan ke publik. Misalnya gerakan people power, kedaulatan rakyat dan sebagainya.
Walau demikian, garis besar gugatan yang diajukan oleh paslon 02, tentunya merupakan satu hal yang perlu untuk diperhatikan dengan saksama. Pasalnya, dengan alat-alat bukti yang sampai saat ini masih kabur dan enggan untuk dibeberkan kepada publik, paslon 02 melalui tim kuasa hukumnya mengajukan gugatan terhadap hasil pemilu yang telah resmi ditetapkan, dengan dalil dugaan telah terjadi kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) oleh paslon 01 (bbc.com 24/05).
Alih-alih mengikuti instruksi yang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 75 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dimana terkhusus untuk sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), gugatan yang diajukan seharusnya lebih banyak mendalilkan dengan jelas letak kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU, selaku pihak yang termohon dan hasil penghitungan yang benar menurut paslon 02 selaku pemohon, isi gugatan paslon 02 yang sebagaimana diterangkan cnnindonesia.com (27/05), lebih banyak berisi dalil-dalil dugaan kecurangan yang dilakukan oleh paslon 01, yang dilengkapi alat-alat bukti yang dapat dikatakan “menggelitik”, karena didominasi sebagian oleh ragam tautan atau link pemberitaan media daring semata.
Jika gugatan yang diajukan memang dikehendaki untuk lebih menitikberatkan dalil-dalil kecurangan paslon 01, maka dapat dikatakan bahwa gugatan tersebut telah salah dialamatkan dan oleh karenanya berpotensi untuk tidak dapat diterima oleh MK. Sebab gugatan-gugatan kecurangan pemiliu, seharusnya diajukan kepada Bawaslu selaku badan pengawas pemilu, bukan kepada MK yang telah digariskan hanya memiliki kewenangan mengadili sengketa PHPU.
Namun apabila dihendaki untuk menguak kesalahan-kesalahan perhitungan KPU dengan cara membuktikan kecurangan TSM yang ada dibalik keselahan tersebut, maka tentu gugatan yang telah diajukan itu, dapat dikatakan masih memiliki peluang untuk dilanjutkan ke tahap persidangan, meski juga disatu sisi, sangat mungkin berpeluang untuk ditolak, jika melihat alat-alat bukti yang sebagaimana disodorkan.
Sebab dugaan TSM tersebut, tentu harus dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah dan valid, serta secara signifikan menunjukkan adanya pelibatan struktur dan rentang komando yang jelas dari paslon yang memegang kuasa negara dan aparatur sipil, ketika memaksa bawahannya untuk melakukan kecenderungan curang; menggunakan sistem atau perencanaan yang matang dan sedemikan rupa, serta; berdampak sporadis atau luas dibanyak tempat.
Hal menarik lainnya, yang patut dicermati beriring dengan dalil gugatan tersebut, ialah petitum atau tuntutan yang sebagaimana diajukan. Dilansir dalam news.detik.com (26/05), tim kuasa hukum paslon 02 dikabarkan mengajukan tuntutan yang pada intinya memerintahkan MK, untuk menyatakan SK KPU Penetapan Hasil Pemilu 2019 batal dan tidak sah; membatalkan/mendikualifikasi paslon 01 sebagai Peserta Pilpres 2019; menetapkan paslon 02 sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024; memerintahkan termohon (KPU) untuk seketika mengeluarkan SK penetapan paslon 02 sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024; memerintahkan termohon (KPU) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22C ayat 1 UUD 1945.
Selain tuntutan yang memerintahkan MK untuk menyatakan SK KPU Penetapan Hasil Pemilu 2019 batal dan tidak sah, tuntutan-tuntuan lainnya yang sebagaimana terlihat diatas, tentunya sangat acak-kadut dan begitu serampangan. Meski sempat terjadi dimana dalam salah satu putusannya, MK pernah menyatakan pendiskualifikasian salah satu dari dua paslon yang berkontestasi di pilkada Kotawaringin Barat karena terbukti adanya kecurangan TSM, namun baik dalam UU MK, maupun dalam Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, amar putusan yang dikenal apabila suatu pemohonan diterima dalam sengketa perkara PHPU, hanyalah berupa pembatalan penetapan hasil perhitungan perolehan suara oleh termohon (KPU), serta penetapan hasil perhitungan perolehan suara yang benar.
Meski demikian, kata akhir dari ujung perselisihan ini, tentu saja bergantung pada pembuktiannya di persidangan. MK memang sudah sepatutnya tidak menjadi “mahkamah kalkulator” semata dalam menilai sengketa PHPU. Begitu juga, tidak menjadi mahkamah populis yang ikut tergerus arus dalam menerima tekanan dan mengemis simpati dari dukungan oknum tertentu. Permasalahan ini, sudah sepatutnya dikawal bersama, dan didudukkan dalam bingkai nalar sehat yang berpihak pada demokrasi dan negara hukum.
Muhammad Aulia Y Guzasiah, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Auliaan@theindonesianinstitute.com