Aksi demonstrasi yang terjadi pada hari Senin dan Selasa tanggal 23 dan 24 September 2019 kemarin, seolah mengingatkan kita pada peristiwa demonstrasi yang nyaris serupa terjadi di 1998. Bedanya, tidak ada tuntutan pelengseran kekuasaan di sini. Hanya ada desakan yang secara umum menuntut pembatalan pengesahan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai ngawur.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), adalah satu diantaranya. Rancangan ini, jamak dipermasalahkan di samping RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dinilai mengandung sejumlah rumusan pasal yang multifasir serta terlalu jauh memasuki ranah urusan privat. Berbagai elemen masyarakat yang turun berunjuk rasa pada hari itu, tidak hanya mengkhawatirkan RUU ini akan rentan untuk disalahgunakan, namun juga berpikiran apabila nantinya disahkan, tidak menutup kemungkinan akan banyak warga masyarakat yang kian mengalami kriminalisasi (tirto.id, 25/09).
Berbagai proyeksi serta kekhawatiran yang mengemuka itu, tentu tidak dapat dilepaskan dari peran pemberitaan media yang pada minggu-minggu sebelumnya, begitu masif mengangkat polemik ini ke permukaan. Sayangnya, jika diperhatikan dengan saksama, beberapa pemberitaan yang menyeruak itu tidak dibarengi dengan penjelasan yang utuh dan menyeluruh terhadap kerangka RKUHP itu sendiri. Melainkan hanya mewartakan potongan kepingan-kepingan pasal pemidanaan, yang secara tidak langsung telah membiaskan isi dan kandungan RKUHP secara keseluruhan, serta memunculkan stigma negatif yang sudah terlanjur mengeruh di masyarakat.
Sebut saja seperti pemberitaan media daring CNN Indonesia tertanggal 18 September 2019, yang mengutip pernyataan resmi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait pasal pemidanaan penggelandangan dalam draf RKUHP. Dalam pemberitaan tersebut, CNN mewartakan tanggapan YLBHI yang mengkhawatirkan pasal itu akan membuka celah terhadap penangkapan pengamen atau tunawisma, yang seketika diaminkan tidak mampu membayar denda hingga satu juta rupiah. Alhasil YLBHI berdalih, pilihan yang memungkinkan adalah mengirim pelaku pelanggaran ke penjara, yang mana hal tersebut menurutnya akan memperburuk kondisi Lembaga Pemasyarakatan (lapas) yang sudah kelebihan muatan.
Apabila membaca draf RKUHP yang ada secara utuh, maka mudah untuk menemui tanggapan di atas telah sepenuhnya keliru dan menyesatkan. Hal pertama yang perlu dimahfumi, pasal pemidanaan yang sebagaimana dimaksudkan merupakan pidana denda, bukan pidana perampasan kemerdekaan seperti penjara atau kurungan. Kedua, dalam draf RKUHP terkini, telah diatur jenis pidana pokok terbaru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Kedua jenis pidana ini, dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, yang di sisi lain tidak hanya dapat membantu yang bersangkutan untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, namun juga dapat mengikutsertakan masyarakat secara aktif untuk membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Tidak berhenti disitu, sebagai tindakan yang dapat dikenakan bersamaan dengan jatuhnya pemidanaan, draf RKUHP ini juga telah mengatur pemberian pelatihan kerja dalam rangka mempersiapkannya kembali ke masyarakat dan memasuki lapangan. Aturan ini dapat dibaca lebih lanjut pada Pasal 103 beserta penjelasan pasalnya dalam draf RKUHP per September 2019.
Masih dalam pemberitaan yang sama, CNN Indonesia juga turut mengutip pernyataan Institute Criminal Justice Reform (ICJR) yang seirama menyoroti pasal penggelandangan. Dalam pemberitaannya, CNN menerangkan anggapan ICJR yang menyatakan pasal tersebut tidak jelas, sehingga membuka celah untuk diinterpretasi secara luas dan berpotensi mengkriminalisasi perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen, tukang parkir dan orang dengan disabilitas psikososial yang terlantar.
Anggapan itu, tentunya dapat dikatakan terlampau jauh ditafsirkan secara serampangan dan berlebihan. Celakanya, justru tafsiran keliru inilah yang sebaliknya mengendap di tengah masyarakat, di mana tafsir atas pengertian “penggelandangan” yang sebagaimana dimaksud dalam Buku ke-II Pasal 431 draf RKUHP ini, diterjemahkan secara terbatas hanya pada pengertian “perempuan yang kerja dan harus pulang malam, terlunta-lunta dijalanan” saja. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada pengumpulan petisi penolakan terhadap pasal pemidanaan penggelandangan, yang juga dicantumkan dengan angka pasal yang salah (disebutkan Pasal 432, yang mana pasal demikian tidak berkenaan dengan penggelandangan), melalui situs change.org/semuabisakena per 18 September 2019, berdasarkan data yang diambil dari situs reformasikuhp.org (25/09).
Padahal jika ditelisik lebih jauh, kata “bergelandangan” yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut, tidak secara spesifik merujuk terhadap gender, status, keadaan atau profesi tertentu. Pun jika hendak diinterpretasikan secara gramatikal dan ekstensif, hal itu tetap tidak bisa dikenakan secara seenaknya terhadap setiap orang yang kebetulan “bergelandang”. Selain diisyaratkan adanya suatu perbuatan yang harus terpenuhi dalam kaitannya terhadap penggelandangan tersebut (adanya perbuatan yang “mengganggu ketertiban umum”), dalam draf RKUHP ini juga telah diatur rumusan pasal “pengaman” yang dapat menghindari penyalahgunaannya.
Sebagaimana diatur dalam Buku ke-I Pasal 12 draf RKUHP, disebutkan secara tegas bahwa untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam sanksi pidana harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak hanya itu, draf RKUHP juga telah mengatur sejumlah alasan pembenar dalam deretan Pasal 31 hingga Pasal 35, yang dapat mengecualikan jatuhnya pemidanaan terhadap suatu perbuatan. Dengan demikian, selama penggelandangan itu tidak mengganggu ketertiban umum, serta tidak bersifat melawan hukum dan memiliki alasan pembenar, maka tentu tidak dapat seketika dikenakan pasal penggelandangan yang sebagaimana dimaksud.
Lain halnya dengan rumusan pasal perzinaan dan kumpul kebo (semenleven/kohabitasi) dalam draf RKUHP. Sebagaimana diketahui, pasal ini juga menjadi satu diantara sekian pasal yang juga turut dipermasalahkan dan sayangnya, lagi-lagi mengalami polarisasi wacana yang tidak berimbang. Dalam situs pengumpulan petisi penolakan tersebut, dapat ditemukan adanya penyesatan penafsiran yang menimbulkan peyorasi makna yang tidak seharusnya terhadap kedua pasal tersebut. Pasal perzinaan, sekonyong-konyong dianggap ngaco karena anak dapat diadukan berzina oleh orang tua dan dipenjara 1 tahun. Begitu pula terhadap pasal kohabitasi, dianggap bermasalah karena menghambat “perempuan cari room-mate beda jenis kelamin untuk menghemat biaya”, dan dapat dilaporkan oleh kepala desa sehingga dipenjara 6 bulan.
Dapat diperhatikan, begitu remehnya alasan-alasan penolakan yang selama ini beredar di tengah masyarakat. Padahal jika membaca dengan saksama kedua pasal yang sebagaimana dimaksud, maka jelas akan ditemukan adanya berbagai penyesatan informasi. Sebab, baik pasal perzinaan maupun pasal kohabitasi yang sebagaimana diatur dalam Buku ke-II Pasal 417 dan Pasal 418 draf RKUHP, merupakan delik aduan yang jelas tidak akan diproses secara hukum, kecuali atas dasar aduan atau keberatan dari orang-orang yang secara spesifik telah dibatasi dalam RUU ini, yakni hanya suami, istri, orang tua atau anaknya.
Lagipula, jika mencoba menyelami sisi filosofis dari pasal yang sebagaimana dimaksud, dan terlepas dari kaitannya terhadap kesusilaan atau tanggung-jawab perbuatannya terhadap pribadi masing-masing, zina atau persetubuhan antar orang yang dilakukan tanpa ikatan perkawinan, tetap saja merupakan perbuatan tercela yang secara tidak langsung juga memiliki dampak sistemik terhadap berbagai lini dimensi kehidupan sosial bermasyarakat.
Terlebih dalam konteks ke-Indonesia-an, dimana ragam kebudayaan dan keyakinan begitu kaya dan terfragmentasi. Seseorang tentu tidak bisa mengambil ukuran sistem hukum atau kebiasaan yang berlaku dan hidup di negara-negara lain, untuk kemudian dicocokkan dengan negara Indonesia. Sebab tiap-tiap bangsa dan negara, tentunya memiliki volkgeist atau jiwa bangsanya masing-masing yang tidak bisa dipersamakan begitu saja.
Termasuk pula dalam hal ini, menolak pengaturan perzinaan hanya dengan mengajukan dalih atas dasar kedaulatan hak terhadap tubuh sendiri atau dengan Hak Asasi Manusia (HAM) semata. Sebab HAM itu sendiri memiliki batasan, yang sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal HAM (DUHAM), di mana dalam menjalankan hak-hak dan kebebasannya setiap orang diatur untuk harus tunduk pada pembatasan yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain.
Termasuk dalam hal ini, ialah masyarakat sebagai satuan komunal yang secara sosial hidup bersama-sama (zoon politicon), memiliki hak untuk tidak terusik dengan perbuatan perzinaan atau kohabitasi yang dilakukan seseorang secara bebas tanpa aturan ditengah-tengah masyarakat itu. Kecuali hal itu dilakukan ditengah hutan belantara, yang jauh dan tidak terjamah oleh masyarakat, maka mungkin perbuatan itu boleh-boleh saja dilakukan. Akan tetapi selama di situ terdapat masyarakat, maka disitu pula akan terdapat hukum yang di mana tiap-tiap individu perorangan wajib tunduk terhadapnya.
Di luar dari pembahasan pasal yang sebagaimana diterangkan diatas, pada dasarnya masih terdapat beberapa pasal yang dianggap bermasalah. Seperti pasal yang melarang mempertunjukkan alat pencegahan kehamilan pada anak beserta pengecualian-pengecualiannya (lihat Buku Ke-II Pasal 415-416), yang entah dengan alasan dan motif apa membuat beberapa kelompok masyarakat memprotes hal tersebut; atau terkait pelarangan aborsi atau pengguguran kandungan yang sebenarnya juga telah mengakomodir kepentingan korban pemerkosaan (lihat Buku Ke-II Pasal 471 ayat (3)), namun tetap saja mengalami penolakan; ataukah terkait larangan membiarkan unggas untuk berjalan dikebun, tanah atau tanaman milik orang lain (lihat Buku Ke-II Pasal 278), yang mana pasal serupa masih dapat ditemukan dalam BAB VII Pasal 548 KUHP terkini, namun entah kenapa baru sekarang dipermasalahkan, dan sebagainya.
Berbagai distorsi informasi dan persepsi bermasalah atas RKUHP ini, tentunya tidak dapat disandar sepenuhnya pada sekelompok masyarakat yang menolaknya. Pun penulis dalam kapasitas dalam menyampaikan tulisan ini, tidak dalam rangka menempatkan diri lebih baik dan paham terhadap mereka yang menolaknya. Begitu juga menyatakan bahwa RKUHP ini telah sempurna secara bulat, oleh karenanya dapat seketika ditelan bulat-bulat, tanpa perlu dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Hal ini lebih kepada ikhtiar untuk mengimbangi polarisasi wacana RKUHP yang tidak proporsional, akibat miskomunikasi yang terjadi antara masyarakat dengan para penyusunnya.
Bergulirnya berbagai kesalahpahaman yang tidak dapat dilepaskan dari sulitnya mendapatkan draft RKUHP itu sendiri, adalah bukti terang bahwa para penyusunnya selama ini memang terkesan tertutup, dan jauh dari komunikasi yang partisipatoris. Kalaupun terdapat ruang-ruang yang sengaja disediakan untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut, maka ruang itupun hanya terbatas pada tataran elitis melalui surat kabar atau media-media yang belum tentu disentuh oleh masyarakat luas.
Oleh karena itu, dengan ditundanya pengesahan RKUHP sampai waktu yang tidak ditentukan ini, dapat dilihat sebagai “deus ex machina” yang seharusnya membuat para pemangku kebijakan, menebus dosa sosial akibat tidak tersentuhnya pemahaman RKUHP hingga ke akar rumput. Pemerintah, para legislator, maupun tim perumus draf, harus segera tanggap mengefektifkan komunikasi serta sosialisasi RUU ini ke tengah masyarakat, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dengan media yang mudah dijangkau. Ditengah perkembangan zaman dan teknologi, hal itu tentunya bukan sesuatu yang sulit.
Muhammad Aulia Y Guzasiah
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
Auliaan@theindonesianinstitute.com