Pada Sabtu, 4 Maret lalu sekitar 700 orang berpartisipasi dalam kegiatan Women’s March Jakarta. Acara ini juga dilakukan dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2017 (tempo.co,04/03/17).
Seperti kita ketahui, Women’s March pada awalnya diinisiasi di Amerika Serikat sebagai salah satu aksi protes terhadap kebijakan presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump. Kebijakan yang dikritisi adalah kebijakan yang menunjukkan intoleransi terhadap kelompok minoritas, etnis tertentu, penganut kepercayaan tertentu dan terutama perempuan.
Aksi serupa telah dilakukan di banyak negara dan seperti juga di Indonesia, selain sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan perempuan di Amerika Serikat, peserta aksi di Indonesia juga memiliki beberapa tuntutan tertentu yang relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini.
Tuntutan peserta aksi Women’s March Indonesia adalah: (1) menuntut Pemerintah membangun kembali masyarakat yang toleran dan menghormati keberagaman; (2) meminta Pemerintah membangun infrastruktur hukum dan kebijakan yang pro keadilan gender; (3) meminta Pemerintah agar lebih aktif dan komprehensif dalam membuat dan mengalokasikan dana untuk program terkait perempuan; (4) meminta Pemerintah dan mengajak masyarakat untuk ikut perhatian terhadap isu lingkungan hidup, perubahan iklim dan kaitannya dengan hak-hak pekerja perempuan.
Berikutnya, mereka juga menuntut Pemerintah agar membangun kebijakan dan pelayanan publik yang pro pada perempuan, pro-individu transgender, dan pro warga disabiltas. Kemudian menuntut pemerintah dan mengajak masyarakat agar memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda. Meminta agar politik dan pejabat negara memperhatikan hak politik perempuan, dan terakhir mengajak masyarakat agar lebih peduli pada isu perempuan dan dampak kebijakan internasional dari seluruh dunia.
Menurut Penulis, tuntutan-tuntutan tersebut relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Misalnya tuntutan agar Pemerintah lebih memperhatikan hak politik perempuan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada 15 Februari lalu telah dilangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang kedua. Pilkada diikuti 101 daerah yaitu 7 tingkat provinsi, 76 tingkat kabupaten dan 18 tingkat kota. Namun, tingkat partisipasi perempuan pada pilkada serentak 2017 ini tergolong rendah. Hanya ada 44 perempuan dari total 614 calon kepala daerah di seluruh Indonesia (Perludem, 2016).
Angka partisipasi perempuan ini juga salah satunya disebabkan karena tidak adanya ruang dalam kebijakan pemerintah bagi perempuan untuk bisa mengambil porsi lebih besar dalam kontestasi seperti pilkada ini. Hal ini kemudian jika kita telusuri lagi adalah karena infrastruktur hukum dan kebijakan terkait pilkada atau pun pemilihan umum (pemilu) belum pro keadian gender. Dengan kata lain hak partisipasi dalam politik sebagai bagian dari HAM perempuan, belum dilindungi.
Terlihat dari contoh di atas, bagaimana untuk satu bentuk pelanggaran HAM perempuan saja, itu berasal dari beberapa kelalaian Pemerintah menyiapkan instrument hukum agar perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan bisa terlaksana optimal.
Penulis: Lola Amelia, lola@theindonesianinstitute.com