Foto Gatra.com

Kritik PSI Untuk Partai Nasionalis Harusnya Jadi Cambuk Untuk Reformasi Kelembagaan

Pidato politik yang disampaikan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie harusnya dijadikan cambuk bagi partai-partai nasionalis untuk mereformasi diri. Bagaimana tidak, Grace langsung menghujankan kritik langsung pada masalah yang selama ini lalai untuk diawasi seperti kasus korupsi atau toleransi.

Demikian pernyataan peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, saat dihubungi, Kamis, (14/3), petang tadi. ““Kritikan Grace yang tajam dalam pidatonya, seakan menyentak, ke-khusyu-an elite politik ketika menikmati hiruk pikuk Pemilu 2019.  Dengan lantang Grace berani mempertanyakan peran partai politik yang mapan terkait kepentingan nasional yang dua diantaranya yan paling mendasar, menjaga persatuan dan menjamin wakil rakyat yang berkualitas dan anti korupsi.”

Anto menambahkan, disamping partai nasionalis, kritik PSI tersebut juga ditujukan pada partai bercorak agama. Harus disadari  terjadi penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik karena belum optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

“Partai politik harus berubah dengan memperkuat kelembagaan agar dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi demokrasi dengan optimal.  Sehingga partai politik dapat berkontribusi menghasilkan kebijakan publik yang berkualitas untuk kepentingan rakyat,” terang Anto.

Anto menyatakan, persoalan mendasar dari partai politik di era reformasi adalah tidak eratnya hubungan antara ideologi dengan arah gerak partai politik. Lemahnya pengaruh ideologi dalam arah gerak partai politik di Indonesia menyebabkan partai politik bergerak tanpa nilai dan berjalan pragmatis. Imbasnya, partai hanya dijadikan kendaraan politik, untuk meraih jabatan publik.

“Seharusnya ideologi menjadi ruh partai politik. Ideologi bukan lah sesuatu yang abstrak, Ideologi dapat diwujudkan dalam setiap kebijakan yang dibuat maupun disuarakan oleh partai politik. Karena partai merupakan satu-satunya pihak yang dapat menerjemahkan kepentingan dan nilai masyarakat ke dalam legislasi dan outputnya adalah kebijakan publik.  Hal ini tentunya dapat mereka lakukan setelah mereka mendapatkan posisi dalam parlemen daerah maupun nasional” demikian Anto.

Sumber: Gatra.com

Komentar