Ketika Jokowi Kembali Masuk Bursa Pilpres Tahun 2024

Nama Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali muncul dalam bursa pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang. Wacana tersebut disampaikan oleh Bambang Wuryanto, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bambang Wuryanto menilai bahwa terdapat kemungkinan jika Joko Widodo kembali menjadi kandidat di Pilpres tahun 2024 mendatang. Namun,  bukan sebagai calon presiden, melainkan calon wakil presiden. Meski demikian, Bambang Wuryanto mengatakan bahwa terdapat persyaratan yang perlu dipenuhi jika menginginkan Joko Widodo kembali maju di Pilpres mendatang, yaitu harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Lebih lanjut, Bambang Wuryanto juga mengatakan bahwa tidak aturan yang melarang Joko Widodo untuk kembali menjadi calon wakil presiden di Pilpres tahun 2024 (Detik.com, 13/09/2022).

Pernyataan Bambang Wuryanto tersebut pun mendapat respons dari Fajar Laksono, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitutsi (MK). Menurutnya, jika ditinjau secara normatif, hal tersebut tidak bertentangan. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah etika politik. Lebih lanjut, Fajar Laksono menjelaskan bahwa jika mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), dijelaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Ia pun menegaskan bahwa kata kuncinya terletak pada “jabatan yang sama”. Dengan demikian, ia menafsirkan bahwa presiden dan wakil presiden adalah jabatan yang berbeda, sehingga secara tidak langsung mengartikan bahwa konstitusi tidak melarang jika Joko Widodo maju sebagai calon wakil presiden (CNNIndonesia.com, 17/09/2020).

Apa yang dikatakan oleh Fajar Laksono tersebut setidaknya dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, dianggap sebagai cara untuk mengakhiri perdebatan di tengah masyarakat terkait penafsran konstitusi. Kedua, pernyataan tersebut dapat dijadikan justifikasi bahwa Joko Widodo tidak melanggar konstitusi jika memang berkenan untuk maju sebagai calon wakil presiden.

Pada akhirnya, jika hal tersebut tidak menimbulkan polemik, maka akan membentuk opini publik bahwa Joko Widodo tidak melanggar konstitusi jika kembali maju menjadi calon wakil presiden. Lebih lanjut, para elit yang mewacanakan hal tersebut akan mengeluarkan data terkait “Tingkat Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Presiden”. Dengan dalih tingginya tingkat kepuasan publik, maka narasi yang akan dibangun selanjutnya adalah publik masih menginginkan Joko Widodo untuk kembali memimpin dan melanjutkan pembangunan.

Meski demikian, jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka hal ini akan menjadi penanda kemunduran demokrasi di Indonesia. Pasalnya, salah satu indikator negara demokrasi adalah pergantian kepemimpinan secara teratur dan dibatasi oleh konstitusi, dalam hal ini dua periode (10 tahun). Selain itu, jika hal tersebut terjadi maka dapat dikatakan bahwa Indonesia kembali ke masa Orde Baru, di mana argumentasi keberlanjutan kepemimpinan Soeharto dikarenakan melanjutkan pembangunan.

Kembali munculnya nama Joko Widodo di bursa Pilpres tahun 2024 mendatang memperlihatkan betapa buruknya regenerasi politik di Indonesia. Narasi yang dibangun terkesan ingin mengatakan bahwa tidak ada lagi sosok yang bisa melanjutkan pembangunan selain Joko Widodo. Semestinya, partai politik bukan mendorong Joko Widodo untuk kembali mencalonkan diri, melainkan sejak lama sudah menyiapkan dan memunculkan sosok yang memiliki kapabilitas, serta visi dan misi yang sama guna melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan oleh Presiden sebelumnya, jika itu agenda yang direncanakan.

Terkait tafsir konstitusi seperti yang dijelaskan oleh Fajar Laksono, konstitusi seharusnya tidak dapat hanya diartikan secara tekstual saja. Perlu dilihat kembali mengapa konstitusi membatasi masa jabatan presiden. Amendemen konstitusi UUD 1945 pertama yang dilakukan pada tahun 1999 dilakukan dengan semangat membatasi kekuasaan. Oleh karena itu, penafsiran UUD 1945 perlu melihat konteks tujuan pembuatan.

Selain itu, jika Joko Widodo nantinya maju sebagai calon wakil presiden dan terpilih, maka akan menimbulkan polemik di kemudian hari. Sebagai contoh, jika mengacu pada Pasal 8 ayat 1 UUD 1945, dijelaskan bahwa “jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka Joko Widodo sebagai Wakil Presiden, dan hal tersebut tentu melanggar ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden hanya dua periode.

Melihat polemik yang ditimbulkan akibat wacana Joko Widodo maju di Pilpres mendatang sebagai calon wakil presiden, maka Presiden Joko Widodo perlu bersikap tegas dengan menolak wacana tersebut. Selain itu, para elit politik seharusnya tidak lagi menggaungkan narasi tersebut dan fokus mempersiapkan partai dan kadernya untuk menghadapi Pilpres tahun 2024 mendatang dengan memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki kredibilitas. Polemik ini juga menggarisbawahi pentingnya reformasi internal kelembagaan partai politik, khususnya terkait dengan konteks regenerasi dan nominasi kandidat yang diusung dalam kontestasi politik.

 

Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

ahmad@theindonesianinstitute.com  

Komentar