Kesehatan Jiwa dalam Visi Pembangunan SDM

Menautkan kesehatan jiwa dalam visi pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi pekerjaan rumah yang tidak enteng. Sebabnya, bukti serius menunjukkan pertumbuhan kasus masalah kesehatan jiwa terus menerus mengabarkan dampak yang serius. Secara global saja, masalah kesehatan jiwa menjadi determinan paling kuat terhadap risiko penyakit dan disabilitas seluruh dunia (World Health Organization, 2000). Bahkan, sajian prediksi mendatang melihat adanya kemungkinan kenaikan masalah kesehatan jiwa yang begitu dramatis.

Pernyataan di atas dilengkapi dengan bukti bahwa bahwa lima dari 10 penyebab utama disabilitas di seluruh dunia ialah masalah kesehatan jiwa. Masalah tersebut, antara lain depresi, skizofrenia, gangguan bipolar, konsumsi alkohol, dan gangguan obsesif kompulsif. Laporan Lancet Commission (2008) juga menambahkan bahwa beban masalah kesehatan jiwa sangat menguras perekonomian. Diprediksi, antara tahun 2011-2030, biaya ekonomi yang dilewatkan akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 16 trilliun US Dollar.

Tak dapat ditampik lagi, biaya menjaga kesehatan jiwa memang sangat mahal. Di Indonesia, misalnya, digambarkan bahwa seorang penderita masalah kesehatan jiwa setidaknya menghabiskan Rp1 juta per bulan untuk mendapatkan bantuan profesional (Vice Indonesia, 10/5/18). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan saja ikut menyadari besarnya angka tersebut dengan mengeluarkan dana untuk masalah kesehatan jiwa sebesar Rp730 miliar pada tahun 2016.

Walaupun pada realitasnya, data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional, seperti kecemasan, berada pada angka 9.8 persen dari populasi orang dewasa. Sedangkan, prevalensi skizofrenia mencapai 7 persen, diikuti dengan depresi pada angka 6.1 persen. Angka-angka di atas tentu bisa menjadi ukuran seberapa besar biaya yang akan dikeluarkan dan proyeksi biaya ke depan untuk tetap menjaga kesehatan jiwa.

Namun, sebenarnya masalah kesehatan jiwa akan semakin kompleks dengan irisan-irisan elemen lain. Mulai dari usia, gender, kondisi disabilitas, identitas seksual, agama, sampai ras dan etnis. Kerentanan berbasis identitas yang saling tertaut tersebut kemudian ditumpuk dengan lapisan kerentanan lain, yaitu ketimpangan sosio-ekonomi maupun layanan yang kurang responsif akibat kurang meratanya aksesibilitas.

Lancet Commission, dalam rekomendasi kebijakannya, pun mengatakan bahwa masalah kesehatan jiwa bukan melulu soal kesehatan. Orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa seringkali dipinggirkan dalam intervensi pembangunan. Padahal, berbagai temuan telah menyodorkan adanya relasi kuat antara kesehatan jiwa dengan pembangunan. Misalnya, penelitian mengenai pengaruh siklus kesehatan mental terhadap pencapaian pendapatan, gizi, pendidikan sampai dukungan sosial (Lund dkk, 2018). Situasi ini tentu menjadi perenungan bersama bagaimana kesehatan jiwa tidak lagi asing bagi telinga para praktisi pembangunan.

“Tiada Pembangunan Tanpa Kesehatan Jiwa”

Kalimat di atas terdengar begitu reflektif ketika diperdengarkan untuk mengkaji masa depan layanan kesehatan jiwa. Pekerjaan besar ini bukan semata-mata menempatkan masalah kesehatan jiwa sebagai suatu krisis yang harus disadari. Kebergegasan berbagai pemangku kepentingan dalam isu kesehatan jiwa pun harus berani untuk meneriaki bahwa kesehatan jiwa juga menjadi bagian dari kunci pembangunan.

Misalnya, meneriaki gaung pembangunan SDM yang masih akan terdengar dalam visi pembangunan kepemimpinan lima tahun ke depan. Jika menggali pembangunan SDM yang dicanangkan, kita tidak akan terkejut ketika sulit menemukan di mana letak kesehatan jiwa sebagai titik mula. Kesehatan jiwa sepertinya masih akan terseok-seok untuk menjadi bagian dari sederet prioritas yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik sampai pendidikan. Sayangnya, dalam banyak hal, praktik-praktik dalam bidang ini belum menjadi pemaknaan lebih sebagai bagian dari kerangka yang menguatkan negara.

Transformasi resolusi “tiada kesehatan tanpa kesehatan jiwa; tiada pembangunan berkelanjutan tanpa kesehatan jiwa” oleh Lancet Commission bisa menjadi penutup sederhana. Memang mudah kelihatannya menguraikan kembali kerentanan dalam mengakses maupun memperbaiki kualitas layanan. Namun, penting diingat bahwa masa depan kesehatan jiwa juga terarah dalam kerangka pemanusiawian yang saling terkait.

Ke depannya, siapapun harus bersikukuh untuk tidak lagi meninggalkan pengalaman orang yang bergelut pada situasi tersebut. Sesederhananya, tidak ada lagi yang meringkuk lisut dalam pusaran masalah kesehatan jiwa; dan tidak ada lagi yang tertinggal jauh oleh kerja-kerja pembangunan.

Nopitri Wahyuni, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute

nopitri@theindonesianinstitute.com

Komentar