Pada permulaan tahun 2016 atau tepatnya pada tanggal 21 Januari, Presiden Joko Widodo secara resmi melakukan groundbreaking pembangunan kereta api cepat yang bekerjasama dengan Tiongkok di kawasan Mandalawangi, Jawa Barat. Dari pembangunan tersebut, kemudian hingga tulisan ini dibuat, isu kereta api cepat masih menjadi bahasan hangat di kalangan masyarakat. Terdapat pihak yang menuding bahwa proses pengerjaan kereta ini seharusnya memerlukan waktu yang lebih lama dalam hal perencanaan. Namun, ada juga pihak sebaliknya, terutama pemerintah yang bersikeras mengerjakan mega proyek ini dalam waktu yang lebih cepat.
Presiden meyakini bahwa pembangunan proyek dengan nilai investasi setara 70 triliun rupiah ini akan mampu meningkatkan daya saing Indonesia di mata internasional. Bagi Presiden, saat ini adalah era persaingan. Negara yang efisien – cepat dalam membangun dan mengambil keputusan – tentu yang akan menjadi pemenang dalam persaingan. Menurutnya juga, kereta dengan model seperti ini akan mampu mendorong kecepatan mobilitas, baik masyarakat maupun barang. Dengan itu, high speed train akan mendorong pusat perekonomian baru di kawasan-kawasan yang akan disinggahi oleh kereta (Kompas, 21/01/2016).
Tidak dapat dipungkiri bahwa keunggulan utama dari jenis kereta yang akan dibangun ini adalah kecepatan dan teknologinya yang futuristik. Hanggoro Budi, Direktur PT. Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), menerangkan bahwa kereta akan mampu melaju hingga 350 km/jam. Dengan kata lain, para penumpang hanya perlu menghabiskan 36 menit saja untuk menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung ataupun sebaliknya. Disadur dari Kompas, kereta cepat Jakarta-Bandung ini ternyata mampu melaju lebih cepat dibandingkan dengan kereta serupa yang ada di beberapa negara maju, seperti TGV di Perancis (300 km/jam) dan Shinkansen di Jepang (330 km/jam).
Kondisi ini tentu akan sangat jauh berbeda dengan yang ada sekarang dimana masyarakat memerlukan waktu tempuh kurang lebih 2,5 jam untuk melakukan perjalanan Jakarta-Bandung dengan menggunakan mobil ataupun kereta api yang sudah lama beroperasi. Dengan tersedianya kereta cepat tentu beban yang selama ini ditanggung oleh jalan tol dengan ruas Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang) akan mampu tereduksi dengan baik, khususnya pada saat akhir pekan ataupun hari libur nasional, seperti lebaran, natal, tahun baru, imlek, dan sebagainya.
Hal lainnya yang patut untuk disoroti bersama adalah potensi tumbuhnya pusat-pusat perekonomian baru di kawasan sekitar stasiun tempat kereta berhenti ataupun sekedar transit. Dari beberapa media, setidaknya seringkali disebutkan bahwa kawasan Walini dan Tegalluar akan menjadi kawasan pertumbuhan baru sebagai dampak positif dibangunnya kereta api cepat. Hal ini tentu menjadi sasaran empuk bagi perusahaan konstruksi, terutama BUMN karya, untuk berkontribusi membangun bangsa di daerah-daerah yang belum tersentuh pembangunan sebelumnya.
Akan tetapi, perlu untuk dijadikan catatan bahwa jangan sampai fasilitas yang ditawarkan oleh kota-kota baru nantinya tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Penting untuk diperhatikan pula bahwa kota baru tersebut harus mampu menjadi penyangga yang baik bagi kota besar di sekitarnya, seperti Jakarta dan Bandung. Sehingga beban yang selama ini ditanggung oleh kedua kota tersebut dapat berkurang. Dengan itu pula, tidak akan terlihat lagi penumpukan warga di kawasan tertentu yang berpotensi menimbulkan gesekan sosial.
Seperti yang telah dijabarkan di atas bahwa dampak pengerjaan kereta api cepat akan memberikan manfaat yang tidak sedikit. Namun, agar hasil tersebut dapat dinikmati secara optimal, penulis meyakini bahwa perencanaan yang matang juga perlu dilakukan secara seksama.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukan bahwa wilayah yang akan dilintasi oleh kereta cepat jakarta bandung, yang sebagian besar berada di wilayah Jawa Barat merupakan daerah rawan gempa. BMKG menyebutkan bahwa jalur tersebut berdekatan, bahkan dengan empat sumber gempa sekaligus, yakni Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Cimandiri, dan zona subduksi lempeng di Samudra Hindia di wilayah selatan Jawa Barat.
Kondisi ini tentu membutuhkan kajian serius yang perlu dilakukan oleh para stakeholders. Mengingat catatan historis gempa dan akibat yang ditimbulkannya, mitigasi resiko yang dilakukan secara komprehensif akan mampu mengurangi potensi ancaman keselamatan penumpang kereta. Poinnya adalah meskipun pembangunan terkesan buru-buru, aspek keselamatan dan kebermanfaat bagi masyarakat Indonesia harus tetap berada pada prioritas pengerjaan. Jangan sampai hal-hal yang berpotensi tidak diharapkan muncul dan merusak manfaat pengerjaan kereta cepat Jakarta-Bandung ini di kemudian hari.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com