Hukuman mati atau pidana mati dalam beberapa tahun terakhir kembali menjadi perbincangan hangat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara di dunia. Sejumlah negara di Uni Eropa, Australia, Kanada, dan sebagian besar wilayah di Asia dan Amerika telah bergerak meninggalkan pidana mati dan mendesak negara lain agar pidana mati dihapus.
Namun ditengah banyaknya negara yang meninggalkan pidana mati, Indonesia hingga saat ini masih melaksanakan pidana mati tersebut, baik secara hukum maupun praktik. Secara hukum, Indonesia berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya.
Setidaknya hukum positif di Indonesia masih menganut pidana mati terhadap 3 (tiga) jenis kejahatan yaitu narkoba, terorisme, dan pembunuhan berencana. Dalam undang-undang tindak pidana korupsi juga diakui adanya pidana mati, walaupun selama ini belum pernah ada yang dihukum mati dalam kasus korupsi.
Oleh karenanya argumentasi Pemerintah mengapa melaksanakan pidana mati adalah untuk menjamin kepastian hukum. Selama hukum positif yang masih berlaku mengakui adanya pidana mati, juga sudah mendapat putusan yang tetap oleh pengadilan dan pengajuan grasi ditolak, maka eksekusi mati dapat dilaksanakan.
Dalam praktiknya pemerintahan Presiden Joko Widodo tercatat telah 3 (tiga) kali melaksanakan eksekusi mati terhadap terpidana kasus kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba). Pada gelombang pertama, eksekusi mati dilakukan terhadap 6 (enam) terpidana mati kasus narkoba pada 18 Januari 2015. Selanjutnya gelombang kedua, eksekusi mati dilakukan terhadap 8 (delapan) orang terpidana kasus narkoba pada 29 April 2015.
Sedangkan yang ketiga, Pemerintah baru-baru ini telah memutuskan untuk mengeksekusi mati 14 terpidana mati pada kasus yang sama yakni narkoba, termasuk di dalamnya 10 warga negara asing. Eksekusi tersebut pada akhirnya dilakukan terhadap 4 (empat) terpidana mati yaitu Freddy Budiman dan tiga warga negara asing pada Jum’at 29 Juli 2016 dini hari. Sementara 10 lainnya masih dalam masa penangguhan karena alasan tertentu (Media Indonesia, 1/08/16).
Pelaksanaan eksekusi mati tersebut membuat Pemerintah Indonesia selalu menjadi sorotan organisasi-organisasi hak asasi manusia nasional maupun internasional seperti PBB, Amnesti Internasional, Uni Eropa, Komnas HAM, dan lain sebagainya. Mereka mendesak Indonesia agar segera menghapus pidana mati karena dipandang sebagai pidana yang melanggar hak asasi manusia yang paling fundamental yaitu hak untuk hidup.
Setiap dilaksanakan pidana mati, maka pada saat yang sama perdebatan mengenai perlu atau tidaknya pidana mati kembali menguat bahkan memanas. Pihak yang menentang pidana mati pada umumnya memandang, pertama, pidana mati bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) misalnya telah lama memperjuangkan penghapusan pidana mati secara total dari hukum pidana di Indonesia. ICJR memandang bahwa hak hidup adalah hak yang tak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, serta berlaku untuk siapapun (non derogable right) (icjr.or.id, 16/01/15).
Kedua, pidana mati juga dipandang tidak memberikan efek jera seperti yang diharapkan. Di Indonesia, sudah puluhan orang menjalani pidana mati selama beberapa tahun terakhir, khususnya untuk kasus narkoba, terorisme, dan pembunuhan berencana. Namun belum ada data yang meyakinkan bahwa pidana mati mampu menurunkan tingkat kejahatan secara efektif dibandingkan bentuk atau jenis pidana lain misalnya pidana penjara seumur hidup.
Ketiga, saat ini Indonesia masih dihadapkan pada kondisi penegakan hukum yang lemah termasuk di dalamnya masalah peradilan yang jujur dan adil. Sehingga sebagian pihak khawatir pidana mati dijatuhkan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Misalnya seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Pada Tahun 2014, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam The Proceedings of the National Academy of Science memperkirakan kurang lebih 4 persen kasus hukuman mati di Amerika Serikat (AS) melibatkan orang-orang yang tidak bersalah (Kompas, 30/07/16).
Di sisi lain, pihak yang mendukung pidana mati menilai bahwa pidana mati perlu dipertahankan dengan tujuan melindungi rakyat dari kejahatan berat. Kejahatan berat yang dimaksud adalah kejahatan tertentu yang jenis dan kualitasnya tidak mungkin lagi dipidana dengan menggunakan pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi sosial pada pelakunya. Salah satunya kejahatan narkotika.
Menurut pihak yang mendukung pidana mati, kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary). Sehingga membutuhkan pidana yang paling maksimal untuk mencegah kejahatan tersebut dilakukan yaitu dengan pidana mati. Pada umumnya alasan mendukung pidana mati antara lain adalah untuk perlindungan korban, menjamin kepastian hukum, penanggulangan kejahatan, dan lain sebagainya.
Menurut Penulis masing-masing pihak, baik pro maupun kontra pidana mati, memiliki alasan yang cukup kuat dan logis. Dalam kasus kejahatan narkoba misalnya, kita perlu menyadari dampak besar yang akan terjadi ketika ada seorang bandar mengimpor jutaan pil ekstasi atau berkilo-kilo narkotika ke Indonesia yang akan meracuni dan merusak masa depan anak bangsa, membunuh ratusan bahkan ribuan generasi muda.
Bahkan ditemukan kasus terpidana kejahatan narkoba masih dapat mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara seperti yang dilakukan oleh Freddy Budiman. Maka tentu logis menurut Penulis jika ada pihak yang mendukung pidana mati sebagai satu solusi untuk mencegah berlangsungnya kejahatan secara berkelanjutan dalam rangka melindungi masyarakat.
Tidak hanya kejahatan narkoba, dalam kasus lain misalnya kita mendengar banyaknya kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh belasan orang hingga pembunuhan sadis terhadap korban, bahkan korban ada yang di bawah umur, pembantaian satu keluarga, dan lain sebagainya yang menurut Penulis tidak manusiawi. Melihat kondisi ini menurut Penulis wajar apabila sebagian pihak menilai pidana mati itu perlu.
Dari sini Penulis memahami bahwa hak asasi manusia tidak bisa hanya dilihat dari sisi pelaku tapi juga harus dilihat dari sisi korban. Hal yang perlu diperjuangkan bukan hanya keadilan untuk pelaku tetapi juga keadilan untuk korban. Namun disisi lain kita tentunya tidak bisa mengabaikan faktor keterbatasan dan lemahnya penegakan hukum yang masih mungkin menyebabkan terjadinya kekeliruan dalam peradilan.
Sebagai jalan tengah menurut Penulis, Indonesia dapat mengambil kebijakan moratorium pidana mati. Artinya Indonesia tetap mengakui adanya pidana mati dalam hukum positifnya tetapi tidak menjatuhkan pidana mati tersebut. Bersamaan dengan dilakukannya moratorium, Pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap efektifitas sebuah pidana terhadap tingkat kejahatan. Di samping meningkatkan kualitas penegak hukum, dan kemampuan masyarakat melawan kejahatan.
Selain itu pidana mati kalau bisa benar-benar menjadi pilihan terakhir dan syarat pemberiannya harus diperketat. Misalnya melalui pendekatan alternatives to death penalty yang digunakan oleh penyusun RUU KUHP. Alternatives to death penalty adalah pendekatan di mana terpidana hukuman mati tidak langsung menjalani hukuman mati, tetapi ada masa tertentu sebelum dia dihukum. Apabila terpidana terbukti menunjukkan suatu perbaikan dan memenuhi sejumlah syarat, pidana dapat berubah menjadi pidana seumur hidup.
Dalam situasi seperti ini, Penulis mendukung pemikiran Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, bahwa sebaiknya pihak yang mendukung hukuman mati tidak berpandangan bahwa mereka yang menolak pidana mati ialah pihak yang mendukung pelaku dan tidak mendukung korban serta upaya menanggulangi kejahatan. Penulis juga meyakini bahwa baik yang pro maupun kontra semuanya menolak kejahatan tetapi berbeda pendekatan.
Selain itu mengingat kondisi penegakan hukum dan peradilan di negara kita yang masih belum bisa dikatakan sempurna tentu pidana mati harus dijatuhkan dengan sangat hati-hati. Karena apabila terjadi kekeliruan, terpidana mati yang terlanjur dieksekusi mati, nyawanya tidak dapat dikembalikan.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com