Jakarta – Sultan HB X adalah salah satu tokoh yang keluar dari ormas Nasdem. Alasannya karena ormas ini berpolitik dan membentuk Partai Nasdem, sehingga ada pihak-pihak yang merasa ‘ditipu’. Tanpa kejelasan sikap, Partai Nasdem akan layu sebelum berkembang.
“Sikap politik harus jelas dan tegas, kalau tidak ya layu sebelum berkembang. Padahal Nasdem ini didirikan oleh tokoh besar dan potensial,” kata peneliti dari The Indonesian Institute, Hanta Yuda.
Berikut ini wawancara detikcom dengan alumnus UGM ini, Kamis (7/7/2011):
Ormas nasdem ditinggalkan beberapa anggotanya. Dalam kacamata Anda, apakah ormas ini semakin condong ke politik?
Pertama begini, Nasdem sejak awal strategi sudah kurang pas. Jika ingin mendirikan partai seharusnya sejak awal ditetapkan sikap mau mendirikan partai. Yang kita baca, ormas ini didirikan setelah Surya Paloh kalah di Munas Golkar.
Proses transformasi ormas ke partai akan mengalami benturan kepentingan dan melahirkan faksionalisme di tubuh ormas Nasdem. Ini salah satu tantangan Nasdem. Nah dengan strategi ini patut dilihat sejauh mana melakukan konsolidasi internal dan antisipasi hengkangnya pengurus dan kader.
Ada pandangan politik atau beberapa orang di dalam Nasdem yang menginginkan Nasdem sebagai ormas, dan ada yang ingin bermetamorfosis menjadi parpol. Ada yang tidak tegas dari Nasdem, sehingga seolah saya membacanya kelompok Surya Paloh sedang berhipotesis, jadi kalau lemah maka Nasdem tetap sebagai ormas dan kalau kuat maka menjadi partai.
Saya kira hipotesis ini tidak akan sukses. Karena pemilih sekarang cenderung rasional. Sehingga masyarakat pun akan melihat ini hanya strategi tersembunyi Nasdem.
Strategi ini menurut saya keliru karena publik bisa jadi antipati pada Nasdem, seolah publik belum tegas. Meskipun para elite partai Nasdem menyebut tidak ada kaitan antara parpol Nasdem dan ormas Nasdem, tapi ternyata banyak melihat ini ada hubungannya. Sebab pengurus Partai Nasdem kan juga pengurus di ormas Nasdem. Ini seolah menganggap pemilih tidak cerdas. Padahal publik paham. Ini berbeda kalau sejak awal mereka memutuskan untuk terjun ke politik, tentu publik akan paham.
Ini belum apa-apa mengalami faksionalisasi. Belum jadi partai sudah mulai terlihat adanya faksionalisasi dari mundurnya tokoh di Nasdem. Padahal Sultan HB X adalah tokoh besar untuk pemilih Jawa jika Nasdem menjadi partai.
Keberadaan faksi bisa dibagi dalam tiga hal. Pertama, faksi berdasarkan kesamaan pandangan isu politik. Ini terjadi kalau ada dukungan politik atau saat pencalonan ketua. Kedua, faksi karena patron klien, di mana ada tokoh yang mempengaruhi. Nah saya kira, di Golkar fenomena ini terjadi. Ketiga, faksi terorganisir. Untuk yang ini, tidak ada di Indonesia.
Berdasarkan ketiga pembagian itu, yang terjadi di Nasdem adalah faksi pertama. Ini karena perbedaan pandangan.
Seharusnya orang-orang yang bergabung di Nasdem pun sudah bisa memprediksi suatu saat nanti Nasdem akan menjadi parpol?
Seharusnya iya, tapi saya tidak tahu kesepakatan internalnya. Karena awalnya ada tokoh netral sebagai deklaratornya. Di awal publik membaca ada harapan lintas partai, tapi juga kecurigaan pasca Surya Paloh kalah. Seolah Surya Paloh membuat perahu politik baru. Mestinya perlu disadari, kita tidak tahu juga kalau ada perbedaan di jalan.
Tapi yang saya baca, Nasdem itu niatnya ingin mendirikan partai, tapi menggunakan strategi politik yang keliru.
Mungkin Partai Nasdem terinspirasi PAN dan PKB?
Tapi itu kan beda ya. Muhammadiyah itu sejarah berdirinya beda, situasi politiknya juga beda. Muhamadiyah besar duluan, demikian pula dengan Nahdhatul Ulama (NU) duluan. PAN tidak secara struktural dari pengurus Muhammadiyah, meskipun Amien Rais yang pernah jadi Ketum PAN memang mantan Ketua PP Muhammadiyah. Tapi saya lihat PAN dan Muhammadiyah bisa menjaga jarak.
Kalau Nasdem, latar belakangnya si tokoh sentralnya adalah Surya Paloh yang merupakan politisi senior yang kemudian kalah si Munas Golkar. Juga Pak Sultan yang tidak dapat tempat signifikan di Golkar era Aburizal Bakrie.
Strategi mereka keliru kalau ingin jadi partai tapi tetap ada ormas juga. Ini seolah menganggap pemilih tidak cerdas. Padahal publik paham, apalagi namanya sama, pengurusnya sama. Seharusnya membuat strategi politik baru.
Kalau saya lihat berpotensi gagal sebagai parpol. Kecuali kalau ada ketegasan yakni partai tanpa embel-embel ormas, atau jadi ormas tanpa embel-embel parpol. Jika memang serius parpol maka harus ada sinergi internal, harus jelas dulu. Harus dipikirkan pula, belum tentu mereka mendapat limpahan suara orang-orang yang kecewa dengan Demokrat. Sikap politik harus jelas dan tegas, kalau tidak ya layu sebelum berkembang. Padahal Nasdem ini didirikan oleh tokoh besar dan potensial.
Jika ‘berkelamin ganda’ menurut Anda akan semakin banyak orang yang keluar dari Nasdem?
Secara internal ini menajamkan faksionalisasi di Nasdem, secara eksternal citra ini tidak baik, karena tidak konsisten. Selain itu juga kalau masih ormas dan parpol maka menjadi tidak jelas dan merasa publik merasa dibohongi. Tapi kalau pun mau jadi partai ada peluang.
Lebih menguntungkan sebagai ormas atau parpol?
Bukan persolan menguntungkan atau tidak. Kalau ormas dengan ide restorasi Indonesia, maka harus dijalankan dengan konsisten. Yang perlu ditegaskan Nasdem adalah persoalan konsistensi dan kejelasan sikap politik. Kalau ormas ya tanpa embel-embel partai, atau partai tanpa embel-embel ormas.
Bagaimana prospek elektoral Nasdem sebagai partai?
Dalam kondisi tingkat kepercayaan publik pada partai semakin menurun, tentu ada peluang. Jika Nasdem gagal atau tidak berhasil tawarkan yang baru, atau menawarkan yang sama dengan partai lain ya sulit untuk bertarung. Karena itu perlu strategi yang lebih jeli.
Terkait gagasan ideologi, Nasdem memilih berhaluan tengah seperti Golkar, Demokrat, PDIP jadi sulit bertarung secara elektoral. Harus dijabarkan dalam hal yang konkret, misalnya bagaimana mengatasi kemiskinan, metode menyelesaikan kasus hukum, dan sebagainya.
Juga soal kepemimpinan, bagaimana tantangan Nasdem ke depan sehingga harus mampu mengkonsolidasikan internal sembari melakukan kelembagaan di internal. Mau tidak mau dalam konteks Indonesia, ada tokoh yang bisa menjual dan bisa memberikan harapan dan citra positif.
Ada pelajaran menarik dari SBY dan Demokrat. Sistemnya rapi tapi harus hati-hati agar tidak tergantung pada sosok pemimpin. Sistem kelembagaan partai harus ditopang oleh sosok yang punya magnet elektoral yang baik. Juga harus lolos parliamentary threshold (PT) untuk masuk parlemen. Kalau PT 4-5 persen saya kira berat. Harus dikalkulasi matang. Kalau tidak bisa-bisa jadi partai gurem, bahkan tidak lebih baik dari Hanura dan Gerindra yang punya genealogi dengan Golkar.
Kalau Nasdem saya kira belum punya tokoh kuat, sehingga korelasi citra belum begitu tertanam. Sejak awalnya bahkan soliditas mulai bermasalah. Saya lihat Nasdem belum bisa jadi kelas atas maupun menengah. Masih butuh perbaikan sampai 2014.
Kalau ingin bikin partai, bikinlah partai dengan berbagai risiko. Jadi kalau Nasdem mau jadi partai ya harus tegas, yang tidak suka silakan keluar. Ini lebih rasional daripada tidak tegas. Kalau tak ada ketegasan akan jadi bumerang secara internal dan eksternal, dan malah jadi bom waktu.
Sumber: Detiknews.