Pada hari Rabu 30 Oktober 2019, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bertemu dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman di Kantor Dewan Pengurus Pusat PKS. Pertemuan itu kemudian menghasilkan tiga poin kesepakatan.
Pertama, mereka sepakat bahwa jalannya demokrasi di Indonesia saat ini butuh check and balances atau fungsi pengawasan terhadap pemerintah di DPR. Kedua, kedua partai bersepakat untuk menjaga kedaulatan NKRI dengan menjalankan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, mewariskan sejarah kerja sama para pendiri bangsa, yakni antara kelompok nasionalis yang memuliakan nilai-nilai agama dan kelompok Islam yang memegang teguh nilai-nilai kebangsaan (kompas.com, 31/10).
Namun banyak pihak menyatakan bahwa pertemuan ini bukanlah menjadi pertemuan silaturahmi biasa. Bisa jadi pertemuan ini merupakan langkah awal dari kontestasi di Pemilu lima tahun yang akan datang. Politikus Gerindra, Desmond J Mahesa memprediksi pertemuan antara Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman terkait dengan koalisi pada Pilpres 2024 (kompas.com, 31/10).
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Desmond, Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus menilai pertemuan antara Surya Paloh dan Sohibul Iman tidak bisa dilepaskan dari kontestasi Pilpres 2024. Menurut Lodewijk, komunikasi politik harus segera dibangun sebagai upaya awal penjajakan masing-masing partai. Lodewijk memprediksi pertemuan antara Nasdem dan PKS akan memunculkan poros koalisi baru (kompas.com, 31/10).
Tipologi dan Orientasi Partai
Pertemuan kedua partai guna menjajaki koalisi di Pemilu 2024 menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini dikarenakan partai politik di Indonesia dengan meminjam istilah genus dari Gunther dan Diamond (2003) masuk dalam tipe electoralist party. Tipe electoralist party, menjadikan pemilu menjadi arena paling utama dari aktivitasnya dan satu-satunya sasaran yang paling penting. Lebih lanjut lagi dalam rumpun electoralist party, terdapat tiga tipe, yakni partai catch-all, tipe programmatic, dan tipe personalistic.
Berdasarkan Laporan Tahunan The Indonesian Institute (TII), terhadap tipologi partai politik peserta Pemilu 2019, ditemukan bahwa hampir semua partai politik masuk dalam kategori catch-all party. Kategori ini mengindikasikan adanya penurunan pengaruh ideologi dan platform terhadap arah gerak partai.
Padahal ideologi ini yang seharusnya menjadi identitas partai. Untuk membedakan antara partai yang satu dengan yang lain dapat dilihat dari ideologi yang dianut oleh partai tersebut (Romli, 2011). Maka tidak mengherankan jika akan terjadi poros koalisi di Pemilu 2024, walaupun PKS dan Nasdem memiliki perbedaan ideologi dan platform (PKS membawa platform Islam, dan Nasdem Nasionalis).
Sedangkan berdasarkan orientasi partai politik dengan melihat pengelolaan, program kampanye, serta arah gerak koalisi pada Pemilu 2019 yang lalu. Orientasi partai lebih banyak berorientasi menjadi The Votes-Seeking Party.
Tipe partai ini berorientasi pada memaksimalisasi suaranya untuk pemenangan pemilu untuk menguasai pemerintahan. Orientasi dasar model partai ini adalah pemenangan pemilu, sedangkan kebijakan ataupun posisi partai terhadap isu lebih lentur. Pada tingkat tertentu, kelenturan tersebut kerap dipergunakan sebagai intrumen ‘manipulatif’, dalam rangka maksimalisasi ataupun menjangkau semakin banyak suara (Mellaz dan Kartawidjaja, 2018).
Berdasarkan paparan diatas maka sangat wajar tuduhan pertemuan antara Partai Nasdem dan PKS, merupakan sinyalemen dimulainya genderang kontestasi Pemilu 2024. Pertemuan ini menggambarkan memudarnya ideologi dan kecenderungan orientasi partai politik di Indonesia yang lebih mementingkan suara dalam Pemilu. Konsekuensinya partai akan cenderung lebih pragmatis dan hanya akan menjadi kendaraan politik untuk meraih kekuasaan belaka.
Rekomendasi
Oleh karena itu dibutuhkan reformasi dalam tubuh parpol untuk memperbaiki kualitas parpol sebagai salah satu pilar demokrasi dan menerapkan demokrasi substansial, dan bukan hanya prosedural. Upaya-upaya yang harus dilakukan adalah pertama, penguatan ideologi dan kelembagaan parpol agar menjadi institusi demokrasi yang kuat dan berjalan dengan optimal. Selanjutnya kedua, upaya perbaikan rekrutmen politik. Rekrutmen politik harus dilakukan dengan menerapkan asas kesetaraan dan gender.
Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research