Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014

arfiantoPemilihan Umum Legislatif (Pileg) telah usai dilaksanakan. Pileg di Indonesia merupakan pemilihan umum yang terbesar dan terumit di dunia. Dapat dibayangkan terdapat 560 kursi DPR RI yang diperebutkan di 77 daerah pemilihan. Di tingkat DPRD Provinsi terdapat 2.112 kursi yang diperebutkan dalam 259 daerah pemilihan. Pada tingkat kabupaten/kota, terdapat 16.895 kursi di 2.102 daerah pemilihan. Kemudian 132 kursi dari 33 Provinsi diperebutkan untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika dihitung secara keseluruhan, menurut Ketua KPU RI kurang lebih terdapat 200 ribu caleg dari 12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh yang bertarung di Pileg lalu (detik.com, 9/1). Jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak 185.822.507 jiwa yang tersebar di 546.278 TPS (baik di dalam dan luar negeri). Tidak mengherankan jika sedikitnya 145 visitor asing dari 30 negara memantau jalannya pelaksanaan pemilu legislatif.

Namun perhelatan besar ini menyisakan beberapa permasalahan. Penulis mengambil dua persoalan yang dianggap paling penting untuk segera ditangani. Permasalahan itu adalah pertama, persoalan distribusi surat suara. Persiapan pengadaan logistik khususnya surat, KPU melakukan tender pengadaan logistik Pemilu 2014 yang dilakukan secara terdesentralisasi ke KPU Kabupaten dan Provinsi. Desentralisasi tender pengadaan logistik dilakukan untuk meminimalisasi penyimpangan dan memudahkan pengontrolan, efisiensi, dan efektifitas. Namun dalam kenyataannya terjadi persoalan distribusi yang menyebabkan surat suara tertukar. KPU mencatat sedikitnya 770 TPS yang tersebar di 107 kabupaten/kota di 30 provinsi harus menggelar pemungutan suara ulang karena surat suara pada pileg tertukar. Sebagian dari 770 TPS itu telah menggelar pemilu ulang (kompas.com, 15/4).

Permasalahan kedua adalah meningkatnya praktik politik uang pada saat Pileg 2014. Hasil temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat praktik politik uang pada pemilu legislatif 2014 sebanyak 313 kasus. Angka ini melonjak 100 persen dari pemilu legislatif 2009. Anggota Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, menjelaskan, ada empat isu yang menjadi fokus pemantauannya selama masa kampanye terbuka, masa tenang, dan hari pencoblosan Pileg 2014. Keempat hal itu adalah pemberian barang, jasa, uang, dan penggunaan sumber daya negara (suaramerdeka.com, 21/4).

Persoalan maraknya praktik politik uang dikarenakan sistem proporsional terbuka menyebabkan persaingan ketat diantara para caleg. Sehingga perilaku caleg akan melakukan segala cara untuk memenangkan kursi. Menurut penulis, masih lemahnya kontrol KPU baik pusat dan daerah terhadap pihak ketiga yang mencetak dan mendistribusikan surat suara, memunculkan permasalahan distribusi surat suara. Begitupula dengan lemahnya pencegahan, pengawasan dan penindakan dari Bawaslu yang memunculkan peningkatan angka politik uang. Kinerja Bawaslu disoroti karena tidak dapat mencegah praktik politik uang ini. Ditambah lagi masih minimnya kesadaran dari Parpol untuk mendisiplinkan calegnya agar tidak melakukan pelanggaran menjadi catatan dari penyelenggaraan Pileg lalu.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan waktu agenda penyelenggaraan Pemilihan Presiden  2014 yang akan berlangsung 9 Juli 2014. Maka KPU dan Bawaslu perlu melakukan langkah-langkah tepat guna menjawab persoalan diatas. Pertama, KPU mengevaluasi kinerja KPUD baik tingkat Provinsi dan Kabupaten khususnya yang berkaitan dengan pengadaan dan distribusi surat suara. Kedua, KPU memperkuat kerjasama dengan TNI/Polri dalam pendistribusian dan pengamanan logistik Pilpres 2014. Ketiga, Bawaslu bersama kelompok masyarakat sipil dan media massa, sejak dini melakukan pencegahan terhadap peluang adanya politik uang dalam Pilpres 2014, dengan meningkatkan kampanye tolak politik uang di dalam pilpres 2014.

Arfianto Purbolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar