Oleh: Hanta Yuda AR. Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute
Opini KOMPAS. Jumat, 6 Februari 2009 http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/0027238/dinastitokrasi.dan.oligarki.politik
Kronisme dan nepotisme masih menjadi isu sentral politik era reformasi. Hal itu terlihat dari menguatnya kecenderungan para petinggi partai dalam menempatkan keluarganya pada posisi strategis dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009. Fenomena politik keluarga ini tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di daerah (caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota).
Cengkeraman elite
Fenomena politik keluarga ini setidaknya disebabkan empat hal. Pertama, imbas dari sistem pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dan ketokohan sejumlah keluarga petinggi parpol diyakini dapat menjadi modal meraup suara.
Kedua, potret kegagalan parpol dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga elite partai.
Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekrutmen di internal parpol, terutama mekanisme dalam penentuan caleg.
Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite parpol, terutama elite di tingkat pusat.
Dari keempat faktor itu, yang paling dominan menyuburbiakkan politik keluarga adalah faktor keempat, kuatnya daya cengkeram kekuasaan elite.
Maraknya politik keluarga di tubuh parpol akan mengarah pada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Parpol seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun-temurun. Kondisi ini akan membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan politik internal partai. Parpol pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern dan demokratis.
Dinastitokrasi politik tidak hanya akan menutup peluang kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga mendorong berkembangnya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis partai. Pada tahap itulah akan bertambah subur oligarki elite dan dinastitokrasi politik di internal parpol. Realitas politik itu seolah menguatkan tesis Robert Michels tentang Hukum Besi Oligarki (The Iron Law of Oligarchy) bahwa di setiap organisasi partai politik, pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite.
Memutus rantai
Selain diperlukan perbaikan sistem kaderisasi dan meritokrasi internal partai, agenda demokratisasi untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi politik adalah memutus mata rantai oligarki elite di tubuh partai. Ini terutama rantai proses kebijakan penentuan caleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftar caleg (hulu proses rekrutmen) maupun kekuasaan dalam menentukan caleg terpilih (hilir proses rekrutmen).
Mekanisme penetapan caleg terpilih yang sebelumnya masih menggunakan nomor urut berkontribusi dalam menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal itu terselamatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Untuk jangka panjang, keputusan MK ini akan memutus mata rantai oligarki elite parpol meski tidak serta-merta memberantas semuanya. Kewenangan elite partai yang semula cukup besar dalam penentuan caleg terpilih otomatis akan berkurang.
Namun, cengkeraman kekuasaan elite partai masih cukup kuat dalam proses menyusun daftar caleg yang merupakan bagian hulu dari rantai kebijakan dalam proses rekrutmen caleg. Untuk memutus mata rantai oligarki yang kedua ini, penyusunan daftar caleg di parpol seharusnya dipilih lewat proses internal yang transparan, bukan lagi kewenangan penuh elite partai. Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemilu internal yang melibatkan kader dan konstituen partai untuk memilih bakal caleg atau pejabat publik dari suatu partai.
Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh karismatik dan elite oligarki yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol. Sebelum takhta kekuasaan partai itu diserahkan kepada dinasti keluarganya, demokratisasi parpol merupakan agenda mendesak bagi masa depan kepartaian di Indonesia, setidaknya untuk menyelamatkan parpol dari bencana dinastitokrasi dan oligarki politik.
HANTA YUDA AR Analis Politik dan Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta