Digitalisasi Pemilu: Mengapa dan Bagaimana?

Isu-isu terkait Pemilu di tahun 2024 memang selalu menarik untuk dibahas. Mulai dari isu yang berkaitan dengan regulasi dan mekanisme pengaturan pemilu, teknis pelaksanaan hingga isu dan wacana terkait calon kandidat dan peserta pemilu. Berkaitan dengan hal tersebut, kurang rasanya apabila kita juga tidak membahas mengenai isu wacana digitalisasi Pemilu.

Pada awalnya, wacana terkait pelaksanaan Pemilu digital mulai mencuat dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu untuk Digitalisasi Indonesia pada 2022 lalu. Di sana, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), mendorong adanya digitalisasi pemilu dengan menerapkan sistem e-voting/i-voting atau electronic voting/internet voting (Lembaga Administrasi Negara, 2022)

Tanggapan terkait adanya wacana tersebut tentu saja beraneka ragam, namun tanggapan yang menunjukkan sikap setuju berargumen bahwa digitalisasi pemilu perlu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilu. Masrully, Analis Kebijakan dari Lembaga Administrasi Negara (Lembaga Administrasi Negara, 2022) menyampaikan, artinya ketika pemungutan dan perhitungan suara dilakukan secara online, dua hal tersebut bisa selesai dalam waktu cepat, menghemat biaya percetakan surat suara, pemungutan suara lebih sederhana dan dapat dilakukan berulang kali untuk pemilu dan pilkada.

Bahkan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang sekarang bergabung dengan BRIN, pada 2014 pernah melakukan studi yang kurang lebih hasilnya menjelaskan bahwa adanya digitalisasi pemilu dengan sistem e-voting/i-voting akan menghemat biaya kurang lebih hingga 50%. Selain itu, dari sisi tingkat partisipasi diproyeksikan juga akan lebih besar. Hal ini lantaran sistem pemilihan menggunakan internet voting tidak mewajibkan pemilih untuk datang langsung ke tempat pemungutan suara (Lembaga Administrasi Negara, 2022).

Melansir dari Suara.com (2022), KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu menerima dengan sangat terbuka masukan dan usulan publik mengenai wacana pelaksanaan e-voting. Artinya, ada ruang yang dibuka oleh KPU untuk mempertimbangkan hal tersebut. Kendati demikian, Bawaslu sebagai mitra kerja KPU sebagai penyelenggara pemilu menyampaikan bahwa KPU masih akan terkendala dalam beberapa hal. Hal tersebut misalnya saja seperti kendala dalam pendanaan, infrastruktur dan juga sumber daya manusia.

Sebagai contoh, Australia merupakan salah satu negara dengan sistem pemilihan umum berbasis elektronik yang bisa dijadikan contoh. Walaupun dalam hal implementasinya membutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang, akhirnya pada 2001 Australia untuk pertama kalinya menerapkan pemungutan suara elektronik untuk memilih parlemen (Nani, 2015). Dalam pemilihan pertama tersebut, diketahui bahwa terdapat 16.559 pemilih yang memberikan suaranya, atau sekitar 8.3% dari total jumlah pemilih di empat tempat pemungutan suara (Nani, 2015). Lebih dari itu, pada 2007 sendiri sebanyak 300.000 warga negara Australia dengan disabilitas dapat memilih secara independen untuk pertama kalinya.

Kendati demikian, pemilihan umum dalam konteks Indonesia perlu disoroti lebih jauh lagi. Hal ini kaitannya dengan beberapa hal seperti regulasi, sistem pemilihan dan kegunaannya, akses internet dan risiko politik yang lain. Dengan demikian, rekomendasi yang perlu ditekankan ulang dalam hal menyikapi wacana pemilihan umum berbasis elektronik/internet adalah pertama, penguatan payung hukum. Payung hukum dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum bersama dengan pemerintah perlu membuat peraturan khusus yang mengatur secara detail bagaimana teknis pelaksanaan pemilihan umum, dimulai dari persiapan, kampanye dan materi kampanye hingga ke sistem pemungutan suara.

Kedua adalah, dengan siapa Komisi Pemilihan Umum akan bermitra untuk mengelola Data Pemilih Tetap (DPS) dan membuat sistem pemilihan umumnya. Apakah data dan sistem akan dikelola hanya oleh Komisi Pemilihan Umum, atau akan memakai vendor dari luar.

Ketiga, persoalan infrastruktur yang apabila dijabarkan berupa kesiapan perangkat dan alat-alat pemilihan, sistem keamanan hingga jaringan internet. Keempat, mempersiapkan sumber daya manusia penyelenggara pemilu yang tentunya dalam hal ini adalah penyelenggara pemilu yang mengerti dengan hal-hal yang berhubungan dengan teknologi.

Kelima, pengaturan sistem kampanye, utamanya penguatan dalam mengatur kampanye di media online. Penguatan tersebut misalnya dapat disampaikan melalui penjelasan definisi kampanye secara detail, persyaratan administratif, materi kampanye yang boleh atau tidak boleh disampaikan, hingga bentuk-bentuk pelanggaran kampanye dan apa sanksinya.

Felia Primaresti – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

felia@theindonesianinstitute.com 

Komentar