Memasuki penghujung tahun 2019, pembahasan Kartu Pra-Kerja terus berlanjut. Kartu Pra-Kerja merupakan salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Tim Project Management Officer (PMO) yang menangani atau Komite Cipta Lapangan Kerja juga akan dibentuk. Dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Jokowi berharap, menginjak bulan Januari program tersebut sudah dijalankan (nasional.kompas.com, 12/11). Namun, Pemerintah hingga kini masih menyusun peraturan presiden (perpres) yang akan menjadi payung hukum program tersebut (bisnis.tempo.co, 12/10).
Melihat pembahasan yang masih berlangsung, realisasi Kartu Pra-Kerja masih memakan waktu. Meskipun dana sebesar Rp10 triliun telah disiapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 (cnnindonesia, 15/07). Bagaimana pun, kartu yang bertujuan untuk mengurangi angka pengangguran di Indonesia ini membutuhkan persiapan matang. Tidak bisa dengan tergesa-gesa direalisasikan. Beberapa catatan terkait perencanaan dan implementasi Kartu Pra-Kerja berikut perlu menjadi perhatian.
Pertama, pembentukan aktor-aktor strategis yang akan menjadi jembatan antara Pemerintah dengan industri. Sejumlah kementerian menjadi aktor dalam usaha mengurangi pengangguran melalui berbagai program. Misalnya, program peningkatan kualitas tenaga kerja yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Namun, dengan hadirnya BLK, belum sepenuhnya berhasil mengurangi angka pengangguran. Alasannya, sinergitas antaraktor, Kemnaker dan kementerian lain dengan berbagai sektor industri masih kurang. Ketidaksesuaian atau missmatch antara calon pekerja dan kebutuhan industri menjadi buktinya.
Jika terjadi komunikasi yang baik dan intens antara Pemerintah dan industri, maka akan memperkecil ketidaksesuaian yang terjadi. Misalnya, jika Kemnaker mendapat informasi secara detail terkait kebutuhan industri, maka Kemnaker dapat merancang kurikulum pelatihan yang lebih tepat. Disinilah, aktor-aktor strategis dapat menjadi jembatan. Rencana pembentukan Tim PMO atau Komite Cipta Lapangan Kerja dalam hal ini menjadi urgen. Komposisi Tim PMO perlu mengedepankan para profesional yang juga memiliki rekam jejak baik. Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian sebagai leading sector juga perlu mendorong pembentukan Tim PMO yang menitikberatkan pada hubungan yang intens dengan industri.
Kedua, adanya landasan hukum dan road map atau peta jalan yang detail. Program Kartu Pra-Kerja akan dilaksanakan di seluruh Indonesia. Landasan hukum dan detail petunjuk teknis pelaksanaan sangat diperlukan. Sejauh ini, penentuan usia telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu di atas 18 tahun (bisnis.tempo.co, 12/11). Namun, peninjauan terhadap Undang-Undang (UU) terkait juga perlu dilakukan. Hal itu untuk mencegah ketidakselarasan visi dan peraturan atau UU. Sebagaimana diketahui Kartu Pra-Kerja juga akan melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda)
Jika Pemda berpartisipasi dalam program ini, otomatis Pemda juga diharapkan mampu menyediakan fasilitas selama peserta dibina hingga peserta dapat tersalurkan sesuai kebutuhan industri. Selain itu, peraturan atau petunjuk teknis yang akan dibuat termasuk dalam realisasinya nanti diharapkan menggunakan sistem online yang terintegrasi, sehingga mengedepankan transparansi. Jika ditunjang sistem online, pengawasan dan evaluasi akan lebih mudah dilaksanakan.
Ketiga, sasaran peserta dan keakuratan data calon peserta atau penerima manfaat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih yang paling tinggi (cnbcindonesia.com, 05/11), maka Pemerintah perlu memprioritaskan lulusan SMK. Dengan kata lain, kuota calon penerima manfaat yang berasal dari lulusan SMK, Sekolah Menengah Atas (SMA), Perguruan Tinggi (PT), dan karyawan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta golongan lainnya perlu diperhitungkan dengan cermat.
Keakuratan data calon peserta juga sangat menentukan keberhasilan Kartu Pra-Kerja. Sebagaimana yang terjadi selama ini, banyak program Pemerintah belum berhasil karena tidak tepat sasaran. Proses seleksi perlu ditunjang dengan sistem online dan mekanisme yang baik sehingga mencegah terjadinya kecurangan yang dilakukan peserta. Sebagaimana disinggung sebelumnya, penggunaan sistem online perlu dikedepankan.
Keempat, menjamin seluruh peserta mendapatkan sertifikasi kompetensi. Sertifikasi kompetensi akan meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan diri calon pekerja, karena menjadi bukti bahwa kompetensinya diakui, kesempatan berkarir lebih besar, dan memiliki parameter yang jelas akan adanya keahlian dan pengetahuan yang dimiliki (Annualreport.id, 05/08/2017). Menurut Ketua Organisasi Serikat Pekerja (OPSI), Timboel Siregar, sertifikasi juga menjadi acuan pengusaha apakah seseorang bisa diterima kerja atau tidak (ekonomi.bisnis.com, 30/10). Dengan anggaran yang disediakan saat ini, Pemerintah harus mampu menjamin bahwa semua peserta akan mendapatkan sertifikasi kompetensi.
Pada intinya, perencanaan yang matang di seluruh aspek akan menjamin keberhasilan Kartu Pra-Kerja. Setiap perencanaan dan implementasi juga perlu didukung komitmen yang kuat antaraktor pelaksana termasuk pelaku industri. Dengan demikian, program yang digadang-gadang dapat menurunkan angka pengangguran ini dapat benar-benar berhasil dalam pelaksanaannya.
Vunny Wijaya
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research