Minggu 8 Januari 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama elemen Masyarakat Indonesia Anti Hoax (berita bohong) mendeklarasikan anti-hoax dengan membentuk “Gerakan Bersama Anti-Hoax”. Deklarasi ini dilakukan di tujuh kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Wonosobo, Yogyakarta dan Surabaya.
Tujuan dari gerakan ini adalah agar masyarakat menyadari bahwa peredaran berita hoax yang terjadi di media sosial belakangan ini sudah meresahkan. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka dikhawatirkan pengguna media sosial bisa ‘tersesat’ di antara informasi yang benar maupun yang tidak benar (liputan6.com, 08/01/17).
Keberadaan berita hoax ini memang telah membuat resah pengguna media social pada khususnya dan hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta ada evaluasi terhadap media online yang menyebarkan berita bohong tanpa sumber yang jelas, provokatif, dan fitnah (sindonews.com, 29/12/2016).
Beberapa contoh berita hoax yang mengemuka di tahun 2016 seperti adanya lambang palu arit di uang rupiah, informasi tentang keberadaan 10 juta tenaga kerja asal Tiongkok, hingga berita soal perintah penangkapan Amien Rais oleh Kapolri Tito Karnavian.
Pengertian hoax sendiri adalah informasi yang tidak benar. Dalam cambridge dictionary, kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan menipu, trik penipuan, rencana penipuan disebut dengan hoax (http: //dictionary.cambridge.org). Menurut David Harley dalam buku Common Hoaxes and Chain Letters (2008), ada beberapa cara untuk mengidentifikasi hoax. Pertama, informasi hoax biasanya memiliki karakteristik surat berantai dengan menyertakan kalimat seperti, “Sebarkan ini ke semua orang yang Anda tahu, jika tidak, sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi”.
Kedua, informasi hoax biasanya tidak menyertakan tanggal kejadian atau tidak memiliki tanggal yang realistis atau bisa diverifikasi, misalnya “kemarin” atau “dikeluarkan oleh…” pernyataan-pernyataan yang tidak menunjukkan sebuah kejelasan.
Selanjutnya, ketiga, informasi hoax biasanya tidak memiliki tanggal kadaluwarsa pada peringatan informasi, meskipun sebenarnya kehadiran tanggal tersebut juga tidak akan membuktikan apa-apa, tetapi dapat menimbulkan efek keresahan yang berkepanjangan.
Kemudian, keempat, tidak ada organisasi yang dapat diidentifikasi yang dikutip sebagai sumber informasi atau menyertakan organisasi tetapi biasanya tidak terkait dengan informasi. Misalnya siapapun bisa mengatakan: “Saya mendengarnya dari seseorang yang bekerja di Microsoft” (atau perusahaan terkenal lainnya).
Saat ini penyebaran berita hoax di Indonesia marak dilakukan melalui media online. Dimana menurut data Dewan Pers saat ini di Indonesia terdapat sekitar 2.000 media online. Akan tetapi hanya 211 media online yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan (detik.com, 21/01/2016).
Kemudian dari pemberitaan di media online tersebut berita hoax disebarluaskan melalui jejaring sosial media seperti facebook, twitter, instagram, whatsapp dan lain-lain. Maka dapat kita bayangkan bagaimana membanjirnya berita hoax di Indonesia saat ini.
Oleh karena itu menurut penulis sangat penting bagi pemerintah bersama kelompok masyarakat sipil mendorong penguatan literasi media bagi masyarakat. Definisi literasi media sendiri yaitu kemampuan memiliki akses ke media, memahami media, menciptakan dan mengekspresikan diri untuk menggunakan media (Buckingham 2005, Livingstone 2005). Hal ini akan menumbuhkan pemahaman kritis masyarakat terkait informasi yang beredar. Masyarakat tentunya akan dapat memilah informasi yang didapat, apakah hal itu hoax atau tidak.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com