Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) kembali menjadi topik hangat pembicaraan publik. Kali ini isu penghapusan AMDAL kembali mencuat setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama atau Ahok mengusulkan pemerintah pusat untuk menghapuskan AMDAL dalam izin mendirikan bangunan (Kompas.com, 02/04/16). Dengan usulan ini, setidaknya sudah sebanyak tiga isu yang dilontarkan oleh pejabat publik untuk mengeliminasi syarat pendirian bangunan di tanah air.
Para pejabat menilai bahwa AMDAL akan menghambat aliran investasi yang akan datang ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), misalnya, mengusulkan untuk menghapuskan AMDAL dalam persyaratan IMB. Bagi BKPM, AMDAL cukup menjadi persayaratan pada izin lingkungan saja. Hal ini jugalah yang turut didorong oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Asosiasi Realestat Indonesia agar proyek pengerjaan bangunan dapat lebih cepat diselesaikan.
Sejatinya, AMDAL atau jamak dikenal sebagai Environmental Impact Assessment merupakan studi lingkungan untuk melihat besar dan pentingnya dampak suatu kegiatan terhadap lingkungan. Berdasarkan bahan ajar Program Studi Teknik Lingkungan ITB (2009), hal-hal yang akan dikaji dalam AMDAL antara lain : fisik, seperti struktur tanah, geologi, dan bentang lahan; kimia, seperti pencemaran air, udara, dan tanah; biologi, seperti dampak terhadap flora dan fauna; sosial; ekonomi; budaya; dan kesehatan masyarakat.
Bagi penulis, dokumen AMDAL merupakan hal yang penting bagi proses perizinan pengerjaan suatu proyek. Selain mampu mengurangi atau meniadakan akibat atas perubahan lingkungan, AMDAL juga mampu mengidentifikasi pemecahan masalah yang optimal, mencegah konflik kepentingan, serta mampu menciptakan proses pembangunan yang partisipatif mengingat publik akan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Dengan ini jelas bahwa AMDAL akan sangat krusial sebagai salah satu upaya pencegahan dan pengendalian dampak lingkungan oleh kegiatan pembangunan.
Dengan dilaksanakannya AMDAL yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hasil yang akan didapatkan oleh pengusaha di kemudian hari juga akan semakin optimal. Pebisnis tidak perlu lagi cemas atas pengeluaran yang tidak terduga apabila terdapat kerusakan atas lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas bisnisnya. Semua komponen biaya justru dapat terukur dengan jelas melalui AMDAL itu sendiri, termasuk perhitungan biaya-biaya eksternalnya.
Penulis juga meragukan bahwa AMDAL merupakan salah satu faktor penting dalam menghambat kemudahan berusaha. Ease of doing Business Index (Indeks Kemudahan Berbisnis) yang dilangsir oleh Bank Dunia bahkan tidak sekalipun menyebutkan EIA (AMDAL) sebagai komponen yang akan melemahkan peringkat kemudahan berbisnis. Terlebih jika dilakukan perbandingan antar negara yang memberikan banyak perhatian terhadap lingkungan, dengan negara yang tidak.
Selandia Baru dan Denmark merupakan contoh dari negara dengan perhatian penuh atas kualitas lingkungan mereka. Dalam rilis Doing Business oleh Bank Dunia di tahun 2016, kedua negara tersebut justru berada di jajaran negara teratas, yakni peringkat 2 dan 3 secara berturut-turut. Berbeda halnya kemudian dengan Brazil dan Argentina yang sistem pengelolaan lingkungan yang belum cukup baik dengan peringkat ke-116 dan ke-121. Meskipun tidak memiliki hubungan secara langsung, tapi dari hal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa negara yang memperhatikan lingkungan akan mempraktekan bisnis secara berkelanjutan.
Selain itu, bagi penulis kehadiran AMDAL sangatlah penting, terutama yang berkaitan dengan kepastian biaya. Pengeluaran yang masih bersifat ekspektasi terkait dengan masalah lingkungan dapat diejawantahkan ke dalam sejumlah nominal tertentu dalam AMDAL. Dengan ini semakin jelas bahwa AMDAL turut serta memberikan kepastian bisnis, di luar kondisi politik dan ekonomi eksternal.
Mungkin yang perlu menjadi catatan kita bersama adalah AMDAL yang selami ini dijalankan di Indonesia perlu untuk ditinjau ulang, namun bukan berarti dihapuskan. Para pemangku kepentingan seharusnya menyadari untuk melakukan reformasi terhadap AMDAL agar lebih bermanfaat, seperti misalnya mengkaji ulang praktik AMDAL yang sudah berjalan dan meminta masukan para ahli terkait perbaikan pelaksanaan AMDAL yang baik dan tepat guna. Besar harapan agar praktik penilaian lingkungan melalui AMDAL dapat bersih dari perilaku oknum yang tidak bertanggungjawab yang sebenarnya hal tersebutlah yang membuat pengusaha malas untuk mengurus AMDAL perusahaannya.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com