UU Wantimpres dan UU Kementerian Negara: Dimana Suara Publik?

Pada 19 September 2024, Rancangan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Wantimpres) dan RUU Kementerian Negara telah disetujui dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi UU. Terlepas dari banyaknya kritik terkait ketentuan anggota Wantimpres yang tidak terbatas untuk anggota Wantimpres dan kementerian, ketentuan tersebut tetap dilaporkan lolos untuk disahkan menjadi UU. Beberapa ketentuan lainnya juga ikut diubah untuk ketentuan terbaru tersebut, seperti Wantimpres yang kini disebut Wantimpres Republik Indonesia sebagai lembaga negara, serta perubahan syarat terkait status hukum narapidana (emedia.dpr.go.id, 19/9). Selain itu, dalam UU Kementerian Negara, diperkenalkan terminologi baru seperti ”lembaga nonstruktural” dan landasan pembentukan kementerian (hukumonline.com, 19/9).

Banyak kritik muncul lantaran perubahan-perubahan tersebut diperkirakan bisa membengkakkan anggaran, memperbesar birokrasi, dan memperumit proses pemerintahan secara umum. Kekhawatiran lain adalah potensi pemanfaatan posisi-posisi tanpa batas ini untuk kepentingan politik lainnya (nasional.tempo.co, 17/9/2024; medcom.id, 14/9/2024; kontan.co.id, 18/9/2024). UU Wantimpres berusaha mengantisipasi ketidakefektifan jumlah Wantimpres Republik Indonesia yang terlalu banyak dengan menambahkan ketentuan ”memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintah” (emedia.dpr.go.id, 19/9/2024). Namun, perlu dipertanyakan lebih lanjut, apa parameter efektivitas penyelenggaraan pemerintah dalam menentukan jumlah anggota Wantimpres Republik Indonesia, juga siapa yang menentukan bahwa penentuan jumlah anggota bersifat efektif atau tidak. Jika tidak ada, maka kata “memperhatikan” ini hanya akan menjadi panduan yang semu , tanpa kewajiban hukum yang mengikat dan hanya mengakomodir kepentingan sepihak kelompok tertentu.

Dinamika-dinamika UU Wantimpres dan UU Kementerian Negara ini tidak bisa ditemukan dalam rekam jejak resmi dalam laman DPR, yang menjadi rujukan bagi publik untuk bisa mendapatkan informasi (dpr.go.id, 27/9/2024). Dengan demikian, menjadi pertanyaan apakah DPR telah melaksanakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan penjaringan aspirasi lainnya.

Jika kita mengacu pada prinsip partisipasi bermakna, prinsip ini memerlukan pembentuk peraturan perundang-undangan untuk memenuhi hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan untuk rakyat. Mendengarkan menjadi satu hal yang mudah untuk dilakukan karena opini, masukan, dan kritik yang diberikan secara mudah oleh masyarakat umum kepada pemerintah dan DPR secara langsung maupun digital lewat media massa atau media sosial. Namun, jaminan apakah opini tersebut dipertimbangkan dan hasil akhirnya dijelaskan atau tidak, ini yang jadi permasalahan.

Melihat konsistennya ketentuan jumlah tidak dibatasi dan ketentuan lainnya dalam UU Wantimpres dan UU Kementerian Negara setelah dikritik oleh publik, hal ini menunjukkan adanya dinamika yang perlu dipertanyakan kembali dalam pemenuhan hak publik untuk dipertimbangkan. Apakah kekhawatiran yang disampaikan oleh publik benar-benar dipertimbangkan oleh DPR dan pemerintah, atau hanya menjadi angin lalu karena kesepakatan pemenang pemilu lalu? Jika iya dipertimbangkan, maka satu hal yang belum didapat oleh publik adalah hak untuk dijelaskan. Sejak di awal perumusan hingga di sidang paripurna, DPR dan pemerintah memberikan penjelasan yang sama kenapa kedua UU ini perlu mengalami revisi dengan ketentuan yang sudah disampaikan sebelumnya (tirto.id, 9/7/2024; menpanrb.go.id, 9/9/2024; menpanrb.go.id, 19/9/2024; emedia.dpr.go.id, 12/9/2024). Hal ini jelas tidak menjawab kekhawatiran publik atas ketentuan-ketentuan jumlah dan ketentuan lainnya, melainkan hanya merupakan bentuk pemberian penjelasan satu arah, jika bukan pemberitahuan semata oleh DPR dan pemerintah untuk mempromosikan perubahan ini. Jika melihat tingkat partisipasi oleh Sherry Arnstein (1969), informasi satu arah hanya memenuhi tingkat ketiga dari bawah, yaitu pemberian informasi. Hal ini juga menunjukkan masih minim dan pasifnya keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses kebijakan.

Berdasarkan dinamika UU Wantimpres dan UU Kementerian Negara yang pembahasannya dipercepat sejak 9 Juli ini, perlu adanya peningkatan transparansi proses dan jaminan akomodasi masukan publik. Transparansi proses tahapan yang sedang dilalui oleh DPR dan pemerintah akan memberikan pemahaman yang baik untuk publik tentang bagaimana RUU disusun dan dibahas. Pemberian jaminan bahwa opini publik dipertimbangkan dan dijelaskan berikutnya oleh DPR dan pemerintah juga perlu dilakukan dengan cara penjaringan aspirasi publik yang betul-betul diolah, berdasarkan riset dan fakta, serta digunakan sebagai dasar pertimbangan pembahasan.

Hal lain yang bisa dilakukan juga dengan melakukan RDPU yang efektif lebih dari satu kali dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pihak terkait lainnya untuk mewujudkan dialog yang berkelanjutan, tidak hanya sekedar formalitas.

Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
christina@theindonesianinstitute.com

Komentar