Urgensi Aspek Non-Penal dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika

Upaya penegakan hukum di Indonesia pada beberapa kasus masih mengedepankan pendekatan retributive atau berasas balas dendam. Pada beberapa kasus narkotika hal ini memantik problematika yang berimplikasi pada over kapasitas di Lapas.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat 276.172 penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) pada 19 September 2022. Sedangkan menurut jenis kejahatannya, terdapat 139.839 jiwa penghuni lapas dan rutan adalah pelaku tindak pidana kasus narkoba. Rinciannya, 125.288 jiwa merupakan pemakai narkoba dan terdapat 14.551 jiwa merupakan pengedar, bandar, penadah, serta produsen narkoba. Jumlah pelaku tindak pidana narkoba mendominasi penghuni lapas dan rutan. Porsinya mencapai 50% dari total penghuni lapas dan rutan (Katadata.co.id, 23/9/2022).

Seperti diketahui, hingga saat ini instrumen hukum yang menjadi dasar penegakan hukum kasus narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, memiliki banyak tantangan. Undang-undang mengatur adanya skema penegakan hukum dengan berdasarkan pada hukuman berbeda antara pengguna dan pengedar yang memberikaan diskresi bagi pengguna untuk mendapatkan hak rehabilitasi.

Namun, dalam praktiknya pengguna narkotika sering menjadi korban pasal jebakan yang kadang digunakan penyidik. Hal ini meyebabkan pengguna mendapatkan hukuman kurungan, bukannya rehabilitasi. Hal ini tentunya menjadi persoalan serius dalam konteks penegakan hukum narkotika.

Oleh karena itu, penting untuk mendorong mekanisme rehabilitasi menjadi modal sebagai tujuan dalam penanganan terkait kasus bagi pengguna narkotika. Hal ini selaras dengan model penanggulangan tindak pidana bisa dilakukan dengan sarana non-penal yang artinya penyelesaian hukum tidak menggunakan hukum pidana (penal) (Hamzah & Surachman, 1994)

Dengan demikian, pemerintah dan DPR harus memberikan perhatian aspek ini dalam mendorong revisi UU Narkotika, yaitu dengan mengatur aspek penempatan penyalahguna narkotika untuk difokuskan ke lembaga rehabilitasi, bukan lembaga pemasyarakatan, melalui mekanisme asesmen yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini akan mampu mengatasi problematika penghukuman berbasis penjara yang ada pada kasus narkotika.

 

Galang Taufani

Peneliti Bidang Hukum

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

galang@theindonesianinstitute.com

Komentar