Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental yang diperingati setiap 10 Oktober, World Federation of Mental Health (WFMH) mengangkat tema “It is Time to Prioritize Mental Health in the Workplace”. Tema kampanye global ini diangkat menimbang salah satu lokus sumber dari meningkatnya gangguan kesehatan mental manusia berada di tempat kerja. Masyarakat global perlu mendorong untuk menciptakan ruang keseimbangan yang sehat antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan pribadinya, termasuk sebagai karyawan. Hal ini sangat penting untuk kesejahteraan psikologis karyawan. Apalagi, hal ini juga berdampak pada produktivitas, motivasi, serta keberhasilan jangka panjang perusahaan.
Meningkatnya beragam permasalahan kesehatan mental di tempat kerja saat ini perlu menjadi isu penting yang patut dipertimbangkan oleh pelaku usaha dan seluruh pihak. Isu ini penting untuk diangkat menimbang bahwa terdapat korelasi kuat antara penanganan gangguan kesehatan mental dengan meningkatnya anggaran perawatan yang harus dikeluarkan perusahaan. Menurut Trautman (t2016) dalam penelitiannya yang berjudul “The Economic Cost of Mental Health”, perawatan terhadap penyakit mental akan menimbulkan dua jenis biaya, yaitu biaya terlihat dan tidak terlihat. Pembiayaan yang terlihat tersebut dapat dikeluarkan dalam bentuk biaya kunjungan dokter, konsumsi obat-obatan, terapi psikologi, dan lainnya.
Sedangkan, pembiayaan yang tidak terlihat dapat ditimbulkan dampak atas ketidakmampuan karyawan tersebut melakukan tanggung jawab pekerjaan sehari-hari. Hal ini juga berdampak pada produktivitas, kinerja dan prestasi kerja (economica.id, 10/10/2019). Pembiayaan yang tidak terlihat tersebut merupakan angka kerugian yang ditanggung oleh pelaku usaha atas dampak permasalahan kesehatan masalah yang tidak ditangani. Hasil penelitian tersebut juga dapat menjelaskan betapa kerugian ekonomi akibat menurunnya produktivitas pekerja yang disebabkan permasalahan Kesehatan mental membahayakan ekonomi suatu negara.
Terkait kebijakan kesehatan mental di tempat kerja, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja. Peraturan ini juga telah menyertakan aspek psikologis karyawan di tempat kerja. Meskipun upaya penegakan kebijakan kesehatan di tempat kerja telah menjadi satu sistem kesatuan dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), namun hal ini dinilai belum cukup menguatkan pentingnya kebijakan ini untuk diterapkan. Pasalnya, K3 secara tradisional lebih banyak berfokus pada pencegahan kecelakaan kerja fisik dan penyakit akibat kerja.
Isu kesehatan mental di tempat kerja sering kali dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dan kurang diperhatikan dibandingkan dengan ancaman fisik. Padahal, gangguan mental seperti stres, depresi, dan burnout juga dapat mengganggu produktivitas, dan sistem kerja secara keseluruhan. Oleh sebab itu, penegakan kebijakan kesehatan mental di tempat kerja perlu dilakukan secara terpisah melalui program pendampingan karyawan (Employement Assistance Programme/EAP).
EAP adalah suatu program pendekatan yang didedikasikan oleh perusahaan untuk membantu peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya dengan memberikan bantuan dan dukungan dalam mengatasi persoalan pribadi maupun permasalahan yang berasal dari tempat kerja (Attridge, 2018). EAP tidak hanya membantu dalam peningkatan kualitas hidup, namun membantu karyawan untuk bertumbuh bersama organisasi.
Meskipun pembentukan EAP menjadi program yang ideal untuk dilakukan dalam organisasi terutama pada pelaku usaha, namun hal ini tidak dapat dilakukan sendiri dan perlu menjadi pekerjaan bersama semua pihak. Hal ini menimbang bahwa program pendampingan karyawan dinilai memiliki mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, sehingga sulit untuk dapat dibentuk, terutama dalam konteks dunia industri.
Namun demikian, untuk mendukung penegakan kebijakan kesehatan mental di dunia industri, banyak cara yang dapat dilakukan. Kebijakan kesehatan mental di dunia industri sangat penting untuk diterapkan sekaligus menjadi bagian untuk memastikan kesejahteraan karyawan dan meningkatkan produktivitas. Salah satunya adalah melalui pemberian insentif pajak ke seluruh sektor industri. Pemberian insentif pajak yang diberikan pemerintah dapat dialokasikan untuk program yang berorientasi pada kesehatan mental karyawan. Misalnya, dengan pembinaan mental karyawan yang tidak dikenakan pajak natura dan/atau kenikmatan (pajak.com, 7/7/2023).
Selain itu, ada 15 fasilitas atau barang yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh) atas natura dan/atau kenikmatan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023. Adapun 15 fasilitas itu, di antaranya makanan/minuman disediakan di tempat kerja untuk seluruh pegawai, kupon makanan/minuman bagi pegawai yang melakukan dinas luar, serta fasilitas di daerah tertentu seperti tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, peribadatan, pengangkutan, dan olahraga tertentu (pajak.com, 7/7/2023). Dengan adanya fasilitas tersebut, diharapkan kesehatan mental karyawan dapat terjaga dan produktivitas dapat optimal.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com