Televisi sebagai media penyiaran dan pendidikan publik

Media pertelevisian saat ini menjadi sorotan masyarakat khususnya pada serangkaian pemberitaan publik figur (artis) yang lebih banyak menampilkan pemberitaan kehidupan pribadi seperti perselingkuhan, kekerasan, perceraian, kriminalitas (penyalahgunaan narkoba, kasus asusila) dan sebagainya. Tidak jarang hak publik untuk memperoleh informasi tentang perkembangan ekonomi, politik, bahkan situasi sosial terkini justru tertutupi oleh pemberitaan terkait skandal kehidupan pribadi artis. Beberapa skandal yang belum lama ini menyita perhatian publik seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi oleh penyanyi dangdut berinisial LK yang memaafkan suaminya dengan membatalkan aduan hukum untuk memberikan kesempatan kedua (kompasiana, 6/7/2023). Selain itu, ada juga kasus video syur artis RK yang menyita perhatian publik (Tribun-Sulbar,14/6/2023)

Media televisi sebagai satu diantara media penyiaran yang memuat informasi audio visual hendaklah dapat menjadi media atau wadah yang mampu menyebarkan ide dan gagasan yang mencerahkan bagi masyarakat secara luas. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang berbunyi “penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan”. Berdasarkan isi undang-undang tersebut maka sudah seharusnya program televisi dirancang untuk melakukan kegiatan pendidikan publik.

Pentingnya muatan pendidikan publik pada program televisi (terlepas dari beragam inovasi) karena televisi sebagai media penyiaran menjadi mitra pemerintah untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga tidak salah jika dominasi program siaran televisi dapat menjadi cerminan terhadap pembangunan karakter sebuah bangsa.

Meskipun program siaran televisi yang mengandung pendidikan publik telah banyak namun masih dirasa tidak cukup untuk mengurangi rasa keingintahuan masyarakat terhadap skandal kehidupan para artis yang justru sering dipublikasikan pada ruang-ruang pemberitaan yang tentunya menjadi hak publik.

Tingginya intensitas pemberitaan yang menyiarkan sisi kehidupan publik figur atau artis yang sebenarnya menjadi bagian masyarakat umum juga ternyata menimbulkan sisi kemanusiaan lain yang diabaikan. Seperti pentingnya melindungi privasi atas kehidupan yang tentunya tidak setiap mereka ingin dipublikasikan (misalnya seperti aib).  Oleh sebab itu, program siaran dan pemberitaan pada televisi harus mengedepankan tanggungjawab moralitas baik kepada objek pemberitaan maupun kepada masyarakat sebagai penerima informasi. Hal tersebut telah disebutkan pada Pasal 36 UU No 32 Tahun 2002 yang berbunyi “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia”.

Dengan berpedoman pada undang-undang yang telah ada, etika serta moralitas, maka media televisi sebagai media penyiaran dapat membangun bangsa yang cerdas serta dapat kembali bangkit di era transformasi digital yang semakin cepat. Oleh karena itu diperlukan beberapa langkah kebijakan yang dapat dilakukan. Pertama, mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai kementerian yang membawahi fungsi media dan informasi untuk merangkul seluruh penyelenggara penyiaran (baik stasiun tv lokal dan nasional) dalam membangun persepsi yang sama mengenai konsep edutainment yang tidak hanya memberikan pencerahan terhadap masyarakat sekaligus memiliki nilai penghiburan.

Kedua, mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat UU No 32 Tahun 2002 untuk konsisten dan profesional dalam menjalankan tugasnya seperti mengawasi, mengevaluasi serta memberikan rambu-rambu dalam menegakan aturan penyiaran yang seringkali bertabrakan dengan nilai dan norma yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Kemudian yang ketiga, mendorong Dewan Pers melindungi kepentingan kedua pihak, baik kepada pihak objek pemberitaan maupun sebagai bagian dari komunitas media penyiaran. Dewan Pers hendaklah dapat memberikan sanksi tegas yang telah diatur dalam kode etik jurnalistik. Pentingnya penegakan Kode etik jurnalistik diharapkan dapat menjadi batasan etis bagi setiap penyelenggara penyiaran dalam melakukan pemberitaan yang menjadikan tokoh tertentu sebagai objek pemberitaan.

 

Dewi Rahmawati Nur Aulia

Peneliti Bidang Sosial

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

dewi@theindonesianinstitute.com

Komentar