Suara Tipis, Legitimasi Pram-Rano Bisa Dipertanyakan

Pramono Anung dan Rano Karno telah resmi ditetapkan oleh KPU Jakarta sebagai pemenang Pilkada 2024 dalam satu putaran. Menariknya, tim Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) yang semula berencana menggugat hasil ini ke Mahkamah Konstitusi akhirnya memilih untuk menarik gugatannya. Kemenangan ini menandai awal baru bagi pemerintahan Jakarta di bawah kepemimpinan Pram-Rano. Namun, di balik euforia kemenangan ini, terdapat sejumlah catatan penting yang perlu menjadi perhatian, baik bagi warga Jakarta maupun pemerintahan baru yang akan segera terbentuk.

Kemenangan Pram-Rano diraih dengan angka 50,07% (KPU Jakarta, 2024), sebuah margin yang sangat tipis dan menjadi sorotan banyak pengamat politik. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun pasangan ini mendapatkan dukungan mayoritas, tingkat penerimaan terhadap mereka tidak terlalu signifikan. Artinya, kemenangan mereka menciptakan tantangan tersendiri dalam membangun legitimasi politik di kalangan masyarakat. Di sisi lain, menurut  CNN Indonesia (10/12/2024), angka golongan putih (golput) dalam Pilkada Jakarta tahun ini mencapai 42%, tertinggi dalam sejarah Pilkada Jakarta. Tingginya angka ini, juga menjadi sinyal kuat adanya kejenuhan politik di kalangan masyarakat, juga indikasi menurunnya kepercayaan terhadap proses politik dan pemerintah secara keseluruhan.

Fakta tersebut harus menjadi alarm serius bagi pemerintahan baru. Tantangan utama mereka tidak hanya sebatas merealisasikan janji-janji kampanye, tetapi juga merebut kembali kepercayaan publik yang tampak semakin terkikis. Dalam konteks ini, pemerintahan Pram-Rano menghadapi risiko nyata krisis legitimasi. Kemenangan tipis dengan 50,07% suara menunjukkan bahwa dukungan mayoritas yang diraih sangat kecil, nyaris tidak mencerminkan mandat kuat dari masyarakat. Ketika angka golput mencapai 42%, pertanyaan mengenai representasi dan validitas kepemimpinan ini menjadi semakin relevan, terutama bagi oposisi atau kelompok yang tidak puas dengan hasil Pilkada.

Margin kemenangan yang kecil sering kali menjadi refleksi dari pembelahan masyarakat yang tajam. Hal ini dapat menciptakan tantangan besar dalam menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan politik atau ideologis. Keberagaman opini yang tidak dikelola dengan baik berpotensi menjadi penghambat bagi program-program pemerintah, bahkan memicu konflik horizontal di masyarakat. Dalam situasi ini, oposisi memiliki ruang untuk memanfaatkan legitimasi politik yang lemah guna terus menggugat kebijakan-kebijakan pemerintahan baru, sehingga memperburuk ketidakstabilan politik dan memicu konflik yang berkepanjangan.

Selain itu, Pram-Rano juga menghadapi tantangan serius terkait dukungan politik. Dengan hanya mengandalkan PDIP sebagai partai pengusung utama, stabilitas pemerintahan mereka berpotensi rapuh. Jika asumsi bahwa anggota koalisi KIM Plus di Jakarta tidak bergabung dalam pemerintahannya benar, maka pemerintahan ini akan sangat bergantung pada koalisi politik yang lemah. Dalam situasi seperti ini, ancaman perpecahan dalam aliansi politik menjadi lebih besar, terutama jika ada perbedaan kepentingan antara partai pendukung dan pemerintah.

Koalisi yang lemah dapat memengaruhi kemampuan pemerintah untuk meloloskan kebijakan strategis di tingkat legislatif. Hal ini juga membuka ruang bagi oposisi untuk memainkan peran lebih dominan dalam mengkritisi atau bahkan menggagalkan program-program pemerintahan Pram-Rano. Tanpa dukungan mayoritas yang solid, pemerintahan mereka akan menghadapi tantangan besar dalam membangun stabilitas politik, terutama jika dinamika di parlemen memanas.

Selain itu, koalisi yang rentan ini juga berisiko memperlambat proses pengambilan keputusan penting. Konflik internal atau negosiasi yang berlarut-larut untuk mendapatkan dukungan politik dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Kondisi ini tidak hanya menciptakan persepsi buruk di mata publik, tetapi juga menurunkan efektivitas pemerintahan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang mendesak.

Untuk itu, Pram-Rano perlu melakukan langkah nyata untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses politik, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam proses kebijakan, dan menciptakan kebijakan yang benar-benar berdampak langsung pada kesejahteraan warga. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan dan dukungan beragam pihak, terutama publik yang skeptis dan kritis. Jika tidak, mereka berisiko menghadapi perlawanan politik yang lebih besar di masa depan dan memperparah krisis kepercayaan yang ada.

Pemerintahan Pram-Rano harus segera mengantisipasi risiko ini dengan strategi yang tepat. Langkah pertama adalah menciptakan pemerintahan yang inklusif dan partisipatif, di mana suara-suara dari berbagai kelompok masyarakat diakomodasi secara efektif. Transparansi dalam pengambilan kebijakan juga menjadi kunci untuk mengurangi potensi serangan politik dari oposisi. Selain itu, fokus pada program-program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, seperti yang mereka janjikan, terutama untuk mereka yang merasa terpinggirkan selama proses politik, menjadi langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Selain itu, Pram-Rano perlu segera merumuskan strategi politik yang inklusif dan membangun komunikasi yang lebih intensif dengan berbagai elemen, termasuk partai-partai di luar koalisi mereka. Langkah ini penting untuk menciptakan aliansi strategis yang lebih stabil, baik melalui kesepahaman politik maupun pembagian peran dalam pemerintahan yang proporsional, terutama untuk mendukung pemerintahan dan program-program mereka. Jika tidak dikelola dengan baik, ketergantungan pada koalisi yang lemah ini bisa menjadi salah satu faktor utama yang menggoyahkan pemerintahan mereka, bahkan dalam masa awal kekuasaan.

 

Felia Primaresti
Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute
felia@theindonesianinstitute.com 

Komentar