Soal Pelarangan Mudik dan Pengenaan Sanksinya

Negara-negara di berbagai belahan dunia, tampaknya masih terus mencari formulasi langkah yang tepat untuk mengatasi penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19). Mulai dari hal-hal yang bersifat medis seperti memproduksi obat atau vaksin, hingga mengambil langkah-langkah kebijakan taktis. Semuanya dapat dikatakan masih bergumul dengan ketidakpastian. Untuk itu, perbincangan terkait pandemi ini, tentu masih akan terus menghangat selama setahun hingga dua tahun kedepan.

Perkataan salah seorang pejabat yang mengatakan tidak ada negara yang benar-benar siap menghadapi Covid-19, mungkin ada benarnya. Pasalnya, wabah ini secara tidak langsung telah meruntuhkan berbagai institusi-institusi sosial, mulai dari tatanan politik, budaya hingga ekonomi. Meski begitu, bukan berarti hal ini dapat terus dijadikan sebagai dalih permisif. Apalagi untuk tetap bergeming dengan langkah-langkah kebijakan yang tidak pasti dan dengan sikap yang terkesan setengah hati.

Dalam pertaruhan ini, beberapa negara setidaknya telah memperlihatkan keseriusan untuk bertindak secara aktif dalam menekan tingkat penyebaran Covid-19. Hal ini umumnya dilakukan dengan segera membangun kebijakan yang lebih responsif dan progresif, tanpa perlu bereksperimen dan membuang-buang waktu terlebih dahulu untuk dapat melindungi masyarakat dan memproyeksi dampak ekonominya.

Sementara lainnya, ada juga yang dengan entengnya berjudi dengan nyawa. Membiarkan virus ini menyebar perlahan melalui populasi mereka, dan terjebak dalam kebijakan-kebijakan nirefektif yang semakin memperkeruh resesi dan keresahan sosial. Kita tentu tidak berhadap Indonesia masuk dalam klasifikasi kedua ini, namun sejumlah langkah yang diambil Pemerintah sejak kemarin seakan tidak langsung mengafirmasi posisi demikian.

Dapat diperhatikan, setelah sempat menyangkal risiko, bahkan membuat guyonan dan narasi-narasi anti-sains di awal-awal penyebarannya, langkah pencegahan dan penanganan yang diambil per hari ini masih juga menunjukkan kerancuan. Dramaturgi antar pemangku kebijakan pun juga terlihat tidak malu-malu dipertontonkan. Mulai dari ketidaksesuaian sikap antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menerapkan kebijakan physical distancing, menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sempat diikuti dengan wacana gamang status darurat sipil, hingga pada penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) PSBB yang lebih terlihat hanya sekadar “formalitas” belaka.

Berbagai disharmoni itu, tentu menyulut kesimpulan kita terhadap satu hal yang sebenarnya dapat dikatakan menjadi muara utama dari akar permasalahan ini, yakni perihal ketegasan. Sikap yang sudah seharusnya diharapkan dan hadir dari Pemerintah ini sayangnya selalu tampil dibelakangan. Tatkala beberapa permasalahan dini yang telanjur lama dibiarkan dengan berbagai kebijakan yang acak-kadut, telah mengendap dengan permasalahan baru yang bisa jadi semakin memperparah dampak permasalahan semula.

Hal yang sama juga terlihat dalam maju mundurnya ketentuan pelarangan mudik menjelang masuknya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19, ketentuan ini akhirnya resmi diputus oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa kemarin (21/04), setelah sebelumnya sempat tidak dilarang, kemudian dilarang sebagian, hingga kini dilarang total. Sementara telah banyak pakar yang mengkritik kebijakan ini karena terlampau lambat diterbitkan, melalui Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan, Pemerintah justru berkilah telah mengambil kebijakan ini di waktu yang tepat (fokus.tempo.co, 22/04).

Padahal jika merujuk data terakhir Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sendiri, setidaknya jumlah orang yang tercatat telah melakukan perjalanan mudik sejak masa-masa kebijakan PSBB ditetapkan hingga pada pertengahan bulan April lalu, telah menyentuh angka 900 ribu orang (mediaindonesia.com, 14/04). Berarti, jika menghitung sisa-sisa hari menjelang waktu pelarangan yang disebut bakal berlaku efektif per 24 April kemarin, maka jumlah pemudik bisa saja telah menyentuh atau bahkan telah melonjak jauh dari angka 1 juta orang. Hal ini jelas akan semakin memperlebar peluang penyebaran Covid-19 hingga ke daerah-daerah.

Meski demikian, tertanggal 23 April, Kemenhub juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 23 Tahun 2020, untuk merespons instruksi Presiden tersebut. Adapun jika diperhatikan, Permenhub ini berisi larangan sementara penggunaan sarana transportasi darat, perkeretaapian, laut dan udara dari tanggal 24 April hingga 31 Mei 2020, dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah PSBB, zona merah penyebaran Covid-19, dan aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah PSBB.

Terkait dengan sanksi pelanggaran tersebut, dapat dilihat diatur secara bervariasi. Rata-rata pengenaan berat-ringan, hukumannya diberi secara bertahap mengikuti jangka waktu tertentu. Namun terkait sanksinya itu sendiri, ada yang disebut secara definitif, ada juga yang disebut kabur. Misalnya, pelanggaran terhadap sarana transportasi laut dan darat, sanksinya dapat dilihat disebut secara definitif seperti teguran tertulis, pencabutan Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut, serta pencabutan izin rute penerbangan bagi badan usaha angkutan udara yang terbukti melakukan pelanggaran.

Klausa yang berbeda, dapat dilihat pada ketentuan transportasi perkeretaapian dan darat. Pada ketentuan pelanggaran sarana transportasi perkeretaapian rupa sanksinya tidak disebut secara definitif. Dalam Pasal 12 Permenhub ini, penyelenggara sarana perkeretaapian yang melakukan pelanggaran hanya disebut akan dikenai “sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada ketentuan pelanggaran sarana transportasi darat.

Sarana transportasi darat yang pada pokoknya disebut berupa mobil bus, mobil penumpang, sepeda motor, kapal angkutan penyeberangan sungai dan danau, baik yang berjenis kendaraan umum ataupun perseorangan, apabila melanggar ketentuan larangan pada tanggal 24 April sampai dengan 7 Mei 2020, maka hanya akan diarahkan untuk kembali ke asal perjalanannya. Namun, bila melanggar pada tanggal 8 hingga 31 Mei 2020, maka hukumannya disebut dalam Pasal 6 huruf b, akan disertakan dengan “sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Kata “sanksi administratif” dan “sanksi” saja, tentu memberikan pemahaman yang berbeda. Kata pertama, memberikan arti sanksi yang telah terkhusus pada yang hanya bersifat administratif semata. Sementara, yang kedua dapat saja diartikan berupa sanksi administratif ataupun sanksi pidana. Sayangnya, Permenhub ini tidak memuat penjelasan umum ataupun pasal per pasal yang dapat memberi kejelasan peraturan perundang-undangan yang dapat dirujuk. Namun jika menelusuri dasar hukum pembentukannya, maka peraturan perundang-undangan yang minimal paling mendekati bahasan ini, tidak lain ialah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK), yang menyebut PSBB sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan kekarantinan kesehatan.

Dalam Undang-Undang tersebut, sanksi administratif diatur disepanjang ayat Pasal 48. Namun yang terkait dengan pengendalian transportasi perkeretaapian dalam rangka pelaksanaan PSBB, tidak dapat ditemukan pengaturannya sama sekali. Adapun terkait sanksi administratif kendaraan darat yang dapat dilihat pada ayat 5-nya ini, terlihat hanya mengatur ketentuan sanksi bagi kendaraan darat yang hendak memasuki wilayah karantina tanpa kelengkapan dokumen karantina kesehatan, bukan seperti yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b Permenhub No. PM 23 Tahun 2020

Diluar ketentuan itu, Pasal 48 ayat 6 UU KK sebenarnya memberikan keluwesan ketentuan sanksi yang lebih lanjut dapat diatur melalui sebuah PP. Namun hingga saat ini, PP yang sebagaimana dimaksud dapat dilihat belum pernah terbentuk. Adapun PP PSBB yang sebagaimana terbit di akhir bulan Maret kemarin juga tidak mengatur ketentuan demikian, sehingga ketentuan sanksi administratif yang sebagaimana diatur dalam Permenhub ini sebenarnya dapat dikatakan tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Ketentuan pidana yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini juga dapat diperhatikan demikian. Hampir tidak ada klausa pasal yang benar-benar relevan untuk dikaitkan dengan sanksi pelanggaran sarana transportasi darat dalam Permenhub ini. Adapun yang terlihat menghampiri pada Pasal 92, menyiratkan kondisi pelanggaran sebelum adanya pengawasan kekarantinaan kesehatan dan belum timbulnya status kedaruratan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pengenaan sanksi atas pelanggaran ini sudah seharusnya tidak dikaitkan dengan sanksi pidana dikemudian hari.

Jikapun demikian, pengenaan pidana terhadap pelanggaran larangan mudik, khususnya pidana penjara ditengah situasi terkini tentu agaknya kurang tepat. Terlebih dalam situasi Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini sedang mengalami over-kapasitas. Untuk itu, pengenaan pidana penjara justru akan berbalik menjadi sebuah bencana. Dalam mengefektifkan kebijakan ini, Indonesia setidaknya perlu belajar dari kebijakan physical distancing Belanda, atau circuit-breaker Singapura. Bagaimana kedua negara ini lebih mengedepankan instrumen denda administratif, ketimbang pendekatan pidana dalam mengatasi pandemi ini.

Dengan demikian, alih-alih hanya mengandalkan Permenhub tentang Larangan Mudik, Pemerintah seharusnya juga perlu segera menerbitkan PP yang sebagaimana diamanatkan oleh UU KK, untuk dapat mengatur ketentuan sanksi administratif lebih lanjut.

 

 

Muhammad Aulia Y Guzasiah, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, auliaan@theindonesianinstitute.com

Komentar