Setiap Jumat pertama di Bulan Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Senyum Sedunia (World Smile Day/WSD). Pada tahun 2016 ini, WSD diperingati pada Jumat tanggal 7 Oktober lalu. Peringatan yang sudah dimulai sejak tahun 1999 ini memang tidak terlalu bergaung di Indonesia. Namun kita bisa lihat di pelbagai akun sosial media di Indonesia saling mengucapkan ‘Selamat Hari Senyum Sedunia’ atau ‘Jangan lupa tersenyum, karena hari ini adalah Hari Senyum Sedunia’ dan masih banyak lagi.
Penulis tidak akan panjang membahas tentang ‘senyum’ ataupun Hari Senyum Sedunia ini. Senyum selama ini diyakini sebagai ekspresi atau ungkapan kebahagiaan dan atau syukur seseorang atas sesuatu yang dia terima atau miliki. Dalam konteks bernegara, dalam kondisi seperti apakah setiap warga negara akan bisa tersenyum karena bahagia? Kebijakan apa yang dimiliki atau diambil pemerintah yang bisa memastikan setiap warga negaranya bisa tersenyum bahagia?
Berikutnya mari kita lihat, apa hubungan kebahagiaan dan kebijakan negara. Kebahagiaan banyak dianggap sebagai sesuatu yang tak bisa diukur, sesuatu yang immaterial yang hanya bisa dirasakan. Kebahagiaan diakui sebagai konsep yang sulit diterjemahkan. Apa benar demikian? Apa benar tidak ada indikator-indikator untuk menentukan seseorang bahagia atau tidak?
Kita bisa menarik refleksi dari negara Bhutan, negara kerajaan di kawasan Asia Selatan. Bhutan memperkenalkan konsep Gross National Happiness (GNH) sejak tahun 1970an dan kemudian mengeluarkan GNH Index setiap tahunnya. Indeks ini menjadi perbincangan dan terutama memunculkan pertanyaan, ‘ apa indikator yang dipakai?’, ‘bagaimana bisa mengukur tingkat kebahagiaan seseorang?’.
Beberapa catatan penting yang bisa kita tarik dari GNH Index 2015 yang dilakukan oleh Centre for Bhutan Studies and GNH Research (CBSGR) adalah bahwa indeks ini adalah hasil dari survey terhadap individu masyarakat dengan beragam indikator yang mereka sebut sebagai the nine domain of GNH (sembilan domain GNH).
Ke sembilan domain tersebut yaitu keadaan psikologis, kesehatan, penggunaan waktu, pendidikan, keanekaragamaan kebudayaan, hidup kemasyarakatan, pemerintahan yang baik (good governance), lingkungan dan standar hidup.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi konsep GNH Bhutan, dan mereka menambahkan pendapatan per kapita sebagai salah satu indikator Indeks Kebahagiaan versi PBB. Artinya faktor ekonomi adalah aspek penting untuk mengukur tingkat kebahagiaan seseorang.
Berdasarkan indikator dari kedua institusi yang berbeda tersebut, kita bisa melihat bagaimana indikator-indikator tersebut sangat berhubungan dengan kebijakan yang dimiliki atau diambil oleh pengambil kebijakan. Kebijakan yang tepat, relevan dan menjawab persoalan masyarakat, pada tahap pertama akan membuat masyarakatnya bahagia. Rasa bahagia yang dialami masyarakat, bisa kita sebut output dari kebijakan pemerintah. Lalu apa setelah masyarakat bahagia
Kemudian, jika masyarakat sudah bahagia, secara mental dia akan siap berkontribusi optimal dalam kerja-kerja produktif kemasyarakatan dalam berbagai sektor. Untuk ini bisa kita kategorikan sebagai outcomes dari pelbagai kebijakan pemerintah tadi.
Terlihat kemudian, jika kita mau melihat keberhasilan kebijakan pemerintah, apakah sudah tepat, apakah sudah relevan, tidak cukup memang jika hanya mengukur tingkat kebahagiaan mereka. Namun, harus dilihat seberapa besar kontribusi setiap individu bahagia ini kepada negara. Bagaimana setiap individu bahagia ini bisa menggerakan roda perekonomian di daerahnya, bagaimana mereka bisa secara bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan mereka, bagaimana mereka bisa berempati dan membantu kelompok-kelompok minoritas di wilayahnya, dan lain sebagainya.
Akhirnya, dalam konteks hidup bernegara, kebijakan tidak boleh berhenti sampai tataran output tetapi juga harus sudah bisa memproyeksikan outcomes berikut dampaknya bagi negara. Menuju negara maju atau sebaliknya.
Penulis: Lola Amelia, lola@theindonesianinstitute.com